Ferry Simanjuntak adalah Mahasiswa Pascasarjana (S2) Magister Theology STT Kharisma Bandung
BAB I
PENDAHULUAN
Novel ”The Da Vinci Code” merupakan salah satu novel ‘best seller’[1]lainnya dari karangan Dan Brown. Novel tersebut telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa dan sudah terjual lebih dari 17 juta copy. Dalam bahasa Inggris sudah dicetak lebih dari 50 kali, dan dalam bahasa Indonesia sudah dicetak 8 kali pada Januari 2005. Selain itu, isi buku tersebut juga telah diperankan dalam film yang disutradarai oleh Ron Howard sehingga masyarakat yang tidak sempat membaca novelnya memperoleh akses yang mudah dan cepat untuk mengetahui jalan ceritanya[2]. Karena hal itu, Dan Brown mendapat perhatian luas di berbagai media seperti CNN, The Today Show, Voice of America, diberitakan di Newsweek, Time, dan Forbes. Dan sampai hari ini buku The Da Vinci Code telah menuai banyak kotroversi.
Di tengah-tengah kontroversi mengenai novelnya tersebut, Dan Brown sendiri mengakui bahwa novel tersebut hanyalah sebuah fiksi dan ceritanya juga adalah mimpi. Dalam wawancaranya dengan stasiun TV-ABC sebagaimana dikutip oleh Herlianto, Dan Brown mengatakan:
“The Da Vinci Code adalah sebuah novel karena itu adalah karya fiksi. Sekalipun peran dalam buku dan aksi mereka tidak nyata, karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia yang disebut dalam novel tersebut semuanya ada. Elemen-elemen nyata ini ditafsirkan dan diperdebatkan oleh peran-peran yang fiktif.”[3]
Namun disayangkan, apa yang diakui oleh Dan Brown dalam wawancara dengan stasiun TV-ABC berbeda dengan pendahuluan yang dituliskannya di dalam novel tersebut. Kata pendahuluannya lebih menyiratkan bahwa apa yang dituliskannya bukanlah fiksi belaka tetapi sebagai suatu fakta. James Emery White menulis:
“Pada bagian pendahuluan atau kata pengantar novelnya, dia menuliskan bahwa novelnya didasarkan fakta, dengan mengklaim bahwa semua penjelasan mengenai karya seni, arsitektur, dokumen-dokumen, dan ritus-ritus rahasia dalam novelnya akurat. Dia menyatakan bahwa nyatanya ada suatu masyarakat rahasia yang melindungi Cawan Suci, yang telah ada sejak tahun 1099 dan suatu penemuan pada tahun 1975 di sebuah museum Paris membuktikan bahwa anggota-anggotanya mencakup Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci. Brown juga menyatakan bahwa organisasi Katolik yang dikenal sebagai Opus Dei melakukan pencucian otak, penggunaan paksaan/kekerasan, dan “tindakan memalukan diri secara fisik” – menyakiti diri sendiri dengan tujuan untuk pertumbuhan rohani.”[4]
Untuk lebih jelasnya, penulis menampilkan kata-kata yang ditulis oleh Dan Brown sendiri dalam pendahuluan novelnya, pendahuluan tersebut diberi label “FAKTA”[5], adapun kata-kata pendahuluannya adalah sebagai berikut:
“Biarawan Sion adalah organisasi nyata-sebuah masyarakat rahasia Eropa yang didirikan pada 1099. Pada 1975, Perpustakaan Nasional di Paris menemukan sebuah perkamen yang dikenal sebagai Les Dossiers Secrets, yang mengidentifikasi sejumlah anggota Biarawan Sion, mencakup nama-nama seperti Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci.”[6]
Lebih lanjut Brown mengatakan:
Prelatur Vatikan yang dikenal sebagai Opus Dei adalah sebuah sekte Katolik yang amat taat, yang telah menjadi bahan kontroversi baru-baru ini berkenaan dengan adanya berbagai laporan mengenai kegiatan cuci otak, pemaksaan, dan sebuah praktik berbahaya yang dikenal sebagai corporal mortification, “penistaan jasmani”. Opus Dei baru saja menyelesaikan pembangunan Markas Besar Nasional seharga $47 juta di 243 Lexington Avenue, New York.
Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel ini adalah akurat.”[7]
Dengan kata-kata tersebut, Brown memberikan kesan kuat bahwa novelnya itu didasarkan pada penelitian sejarah yang dapat dipercaya. Dengan kata lain, sekalipun Brown menyebut karyanya sebagai fiksi, namun saat bersamaan ia juga menekankan adanya fakta-fakta nyata dalam hal karya seni, arsitektur, dokumen dan ritual rahasia. Ini membuka kemungkinan adanya area abu-abu yang merupakan area tumpang tindih antara fakta dan fiksi dengan kemungkinan yang fakta dianggap fiksi atau yang lebih mungkin lagi yang fiksilah yang dianggap fakta.
Herlianto berpendapat bahwa:
“Masyarakat terpelajar akan lebih mudah untuk bisa memilah-milah informasi berdasarkan ke’fakta’an dan ke’fiksi’an sesuatu yang mereka baca, tetapi masyarakat pembaca umum tidak setajam itu daya nalarnya, mereka cenderung akan lebih tertarik akan skandal, gosip, dan fitnah, yang kemudian dipercayai sekalipun fiktif tanpa mempertanyakannya lebih lanjut kebenarannya.”[8]
Jika mengacu kepada pendapat Herlianto di atas, menurut hemat penulis pembaca di Indonesia adalah pembaca yang termasuk pada kelompok yang kedua, yaitu pembaca umum yang umumnya tidak memiliki daya nalar yang tajam yang sanggup memilah-milah informasi berdasarkan ke’fakta’an dan ke’fiksi’an sesuatu yang mereka baca. Sehingga mempunyai tendensi atau potensi untuk justru mempercayai yang fiktif belaka. Apa lagi di Indonesia masyarakat pada umumnya lebih memilih untuk menonton film The Da Vinci Code ketimbang membaca novelnya. Ini dikuatkan oleh White ketika menyikapi komentar Oliver Stone seorang sutradara film yang menggagas film dokumenter tentang pembunuhan John F. Kenedy. White mengatakan:
“Saya pernah membaca suatu hasil wawancara dengan stradara film Oliver Stone ketika dia menghadapi kritik karena penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan-kesalahan fakta dalam filmnya, terutama JFK, laporan dokumenter yang salah mengenai pembunuhan Kennedy. Dalam sebuah kuliah di Universitas Amerika, dia mengatakan bahwa film seharusnya tidak menjadi jawaban akhir atas apa yang benar. “Orang-orang memiliki tanggung jawab untuk membaca sebuah buku,” katanya, dan kemudian menambahkan bahwa “tak seorang pun akan duduk menonton sebuah film berdurasi tiga jam dan berkata, ‘Itu kesimpulan akhirnya.’’
Sayangnya, Oliver Stone salah. Itulah yang sesungguhnya dilakukan oleh banyak orang.”[9]
Berdasarkan itu masyarakat Amerika saja yang nota bene sebagian besar adalah masyarakat terpelajar masih mempunyai kemungkinan untuk lebih mempercayai fiksi ketimbang fakta karena terpengaruh oleh film yang mereka tonton, apalagi di Indonesia.
Di samping hal tersebut, ternyata dalam wawancara kemudian Brown menyatakan secara jelas apa keyakinannya sendiri secara pribadi tentang isi novelnya. “Dalam tayangan ABC News bertajuk Yesus, Maria, dan Da Vinci, yang disiarkan pada tanggal 3 November 2003, Dan Brown menyatakan diri sebagai orang yang memercayai segala sesuatu dalam novelnya.”[10] Selanjutnya
“Dalam sebuah wawancara televisi pada acara yang berujudul Good Morning America, dia menyatakan bahwa jika dia diminta menuliskan sebuah karya non-fiksi mengenai segala sesuatunya dalam novelnya ini, dia tidak akan mengubah apa yang telah dinyatakannya dalam novel tersebut. Dalam novelnya, para tokoh utama menyatakan bahwa Yesus menikah dan memiliki anak-anak. Selain itu mereka mengatakan bahwa Gereja Katolik telah berbohong mengenai hal ini dan menutup-nutupi fakta bahwa istri dan anaknya lari ke Prancis. Dalam wawancara itu, Brown menegaskan pandangan-pandangan dari beberapa tokoh novelnya. Dia memberi tahu para penonton acara televisi tersebut yang berjumlah sekitar lima belas juta orang bahwa, “Pada mulanya aku adalah orang yang tidak percaya dengan The Da Vinci Code. Ketika aku mulai meneliti The Da Vinci Code, aku sesungguhnya berpikir bahwa aku akan menyangkal teori-teori mengenai Maria Magdalena dan Darah Suci dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Sekarang aku menjadi orang yang percaya dengan kebenaran The Da Vinci Code.”[11]
Alasan-alasan tersebutlah yang membuat “The Da Vinci Code” menjadi sebuah novel yang patut untuk dianalisa, dikritisi dengan maksud untuk memberikan sedikit pencerahan kepada khalayak sebagai salah satu tanggung jawab moral-spiritual penulis sebagai seorang mahasiswa teologi.
BAB II
PEMBAHASAN
Alur Cerita The Da Vinci Code
Alur dasar The Da Vinci Code adalah sebagai berikut: Robert Langdon, lakon pria dalam buku tersebut, adalah seorang profesor di bidang kajian simbol-simbol agama yang kemampuannya memecahkan kode-kode membawanya menelusuri jejak rahasia yang telah lama dipegang oleh Biara Sion. Biara Sion diduga merupakan sebuah perserikatan yang telah ada sejak zaman Perang Salib dan tugasnya adalah melindungi Cawan Suci. Cawan Suci adalah cawan yang dipakai Tuhan untuk minum pada Perjamuan Terakhir. Meskipun demikian, ini merupakan penyimpangan dari kebenaran nyata, yaitu bahwa Yesus dan Maria Magdalena adalah sepasang kekasih yang menikah dan memiliki anak dari hasil pernikahan tersebut. Dengan demikian Cawan Suci yang sesungguhnya adalah Maria Magdalena.
Anggota-anggota Biara Sion di antaranya adalah Sir Isaac Newton, pelukis Botticelli, Victor Hugo, dan tidak terkecuali seniman agung sendiri, Leonardo Da Vinci, yang menjadi alasan pemilihan judul novel ini. Mereka dan orang-orang besar lainnya yang menjadi anggota perserikatan ini menjaga rahasia tersebut. Menurut dugaan, garis keturunan Yesus berlanjut bahkan sampai saat ini dalam pribadi lakon wanita The Da Vinci Code, Sophie Neveu, meskipun dibutuhkan keahlian Langdon untuk membantu Sophie memahami hal tersebut. Gereja Katolik adalah pihak yang dianggap jahat dalam alur cerita tersebut, yang organisasi rahasianya, Opus Dei (“pekerjaan Tuhan”) secara terus-menerus dan kejam berusaha menutupi kebenaran mengenai garis keturunan ningrat Yesus dan Maria, tanpa memedulikan siapa yang harus dibunuh. Kemudian ditambahkan juga seorang tokoh protagonis, Leigh Teabing, mantan sejarawan Inggris yang pindah ke Prancis, yang memiliki maksud tersembunyi untuk menyingkapkan kenyataan sebenarnya dari kekristenan tradisional-sebuah rekayasa yang telah dijadikan tradisi yang menganggap Yesus sebagai Tuhan meskipun Yesus hanya seorang manusia biasa. Pengungkapan bahwa Yesus adalah seorang manusia belaka yang, dengan Maria Magdalena, memperanakkan manusia-manusia lainnya jelas sekali akan mengancam kabar baik Kristen. Dan dengan tindakan yang cepat dan tepat sasaran, novel tersebut menyatukan semua tema di atas.
Analisis Kritis Terhadap Novel The Da Vinci Code
Menurut Pate dan Pate yang mana penulis setuju dengan pendapat mereka, ada empat kesalahan pokok landasan pemikiran novel tersebut:
Kesalahan pertama: “Injil-injil yang benar adalah Injil Maria (Magdalena) dan Injil Filipus, bukan Injil-injil kanon.”[12]
Pate dan Pate menuturkan:
“Sudut pandang teologis Dan Brown diungkapkan melalui ahli sejarah dari Inggris, Teabing. Teabing menuduh kekristenan mula-mula telah memulai dan meneruskan persekongkolan menentang kebenaran. Dia menyatakan bahwa “lebih dari delapan puluh injil” dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam kitab Perjanjian Baru, tetapi hanya empat di antaranya yang dipilih. Injil-injil yang dimasukkan dalam kitab Perjanjian Baru adalah “pecundang” dalam sejarah, sedangkan injil-injil yang dimasukkan ke dalam kitab Perjanjian Baru adalah “pemenang” dalam sejarah. Maksud pernyataan ini jelas sekali untuk merusak reputasi kekristenan tradisional dan menggantikannya dengan Apokrifa Perjanjian Baru. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, hanya ada sekitar lima puluh injil apokrifa.”
Pendapat yang menyebutkan bahwa hanya ada sekitar lima puluh injil “apokrifa”[13] juga diungkapkan oleh James M. Robinson dalam bukunya “The Nag Hammadi Library” sebagaimana dikutip oleh Herlianto:
“Kitab-kitab gnostik sebenarnya sudah lama ditemukan secara parsial. Namun, ketenarannya mencuat ketika pada tahun 1945 di Nag Hammadi, Mesir, ditemukan perpustakaan gnostik yang berisi tiga belas kodeks (bundel berisi beberapa kitab) yang berisikan 52 kitab. Dari ke-52 kitab gnostik yang ditemukan itu ada beberapa kitab yang dikaitkan dengan Maria Magdalena.”[14]
Dalam makalah ini penulis memilih untuk mendiskusikan dua injil apokrifa yang memiliki khazanah gnostik yaitu: Injil Filipus dan Injil Maria (Maria Magdalena) dengan alasan karena keduanya dipakai oleh Brown untuk menjadi dasar teorinya yang menyatakan bahwa Yesus dan Maria Magdalena adalah sepasang kekasih yang menikah.
Pate dan Pate mengungkapkan bahwa, “Injil Filipus muncul dalam teks Koptik (campuran antara bahasa Yunani dan Mesir) yang ditemukan di Nag Hammadi. Injil tersebut sepenuhnya mengarah pada pandangan ‘gnostik’[15].”[16] Dari injil Filipus inilah Brown banyak mengutip tentang hal “ciuman” Yesus kepada Maria Magdalena. Sebagai salah satu contoh penulis mengutip bagian tertentu dari Injil Filipus yang telah direkonstruksi yang melatar belakangi pandangan Brown untuk menegaskan bahwa Maria Magdalena adalah kekasih Yesus,
“Dan teman [Juruselamat adalah] Maria Magdalena. [Tetapi Kristus mengasihi] dia lebih daripada [semua] murid [dan biasa] mencium dia [sering…]” (NHC 2.3.63.32-36). Beberapa terjemahan memulihkan teks itu sehingga berbunyi, “Ia dulu sering mencium dia di mulutnya”, tetapi ini murni terkaan. Penulis teks ini mungkin membayangkan bahwa Yesus sering mencium Maria di tangan, dahi atau pipi. Kita tidak tahu apa yang dikatakan teks aslinya, dan dalam kasus mana pun, tidak ada jaminan untuk menarik kesimpulan dari kalimat tersebut bahwa Maria adalah kekasih Yesus.”[17]
Sementara itu, Injil Maria sebagaimana diungkapkan oleh Evans[18] mengisahkan cerita di mana Maria Magdalena menceritakan kepada murid-murid lain wahyu yang diberikan Yesus kepadanya. Andreas dan Petrus menyatakan keragu-raguan apakah Maria menceritakan kebenaran karena pengajaran itu berbeda dari apa yang telah diajarkan kepada mereka. Maria menangis, sedih karena mereka berpikir bahwa ia menyalahpahami perkataan Sang Juruselamat. Lewi menegur Petrus, membela Maria, dan menasihati murid-murid untuk menyampaikan Injil, tanpa menetapkan batas-batas atau menyisihkan hukum Taurat, seperti dikatakan Juruselamat. Kembali sebagai salah satu contoh, penulis mengutip bagian tertentu dari Injil Maria yang juga melatar belakangi pandangan Brown untuk menegaskan bahwa Maria Magdalena adalah kekasih Yesus, “Saudari, kami tahu bahwa kamu sangat dikasihi oleh Juruselamat, lebih dari wanita lainnya.”[19] Kembali lagi-lagi Brown menjadikan hal itu sebagai bukti bahwa Maria adalah kekasih Yesus. Sedangkan menurut Evans kemungkinan Injil Maria “mencerminkan pergumulan tentang kebijakan gereja, peranan perempuan, isu legalisme dalam satu bentuk atau lainnya, dan batas-batas otoritas kerasulan.” [20] Dan tentunya tidak dapat dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menunjukkan bahwa Maria adalah kekasih Yesus sebagaimana kesimpulan Brown.
Keberatan penulis terhadap pendapat Brown yang mengatakan bahwa “Injil-injil yang benar adalah Injil Maria (Magdalena) dan Injil Filipus, bukan Injil-injil kanon”, di dasarkan atas tiga pertimbangan:
Pertama, Injil Maria (Magdalena) dan Injil Filipus adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad ke-2 atau 3 Masehi, artinya masa penulisan kedua kitab tersebut terjadi setelah para rasul dan orang-orang sezamannya tidak ada. Sementara Injil kanonik ditulis jauh sebelum itu, yaitu ketika para rasul masih ada dan para penulis kebanyakan juga adalah saksi mata dari kejadian-kejadian yang ditulis dalam injil-injil tersebut.
Keberatan kedua datang karena Brown merekonstruksi sendiri bagian-bagian yang rusak dari Injil Maria (Magdalena) dan Injil Filipus serta menafsirkannya sesuai seleranya sendiri demi menguatkan teorinya sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Herlianto dengan mengutip beberapa kalimat dari Injil Filipus:
“Dan pendamping […] Maria Magdalena. […] lebih dari […] para murid, […] menciumnya […] di […]. Para murid lainnya […]. Mereka berkata kepadanya “Mengapa engkau mencintainya lebih dari kami semua?” Juru Selamat menjawab dan berkata kepadanya, “Mengapa aku tidak mencintai kamu seperti aku mencintai dia?” Ayat di atas tidak menyebut Yesus mencium mulut Maria, tetapi secara provokatif Dan Brown mengisi bagian yang terhilang […] dengan kata [Yesus] menciumnya [sering] di [mulutnya].”[21]
Kesalahan kedua yang dibuat Brown di dalam novel The Da Vinci Code adalah: “Yesus adalah seorang manusia belaka dalam sumber-sumber sejarah paling awal yang kemudian dinyatakan sebagai Tuhan dalam Konsili Nicea tahun 325 M. Hal ini disebabkan oleh taktik penindasan Kaisar Konstantinus, yang menyensor Injil-injil (Gnostik) yang muncul lebih dulu dan menggantikannya dengan empat Injil kanon.”[22]
Tokoh Teabing dalam novel The Da Vinci Code menyatakan bahwa Konstantinus memberikan wewenang dan dana untuk membuat sebuah Alkitab yang baru, yang menghilangkan injil-injil Gnostik yang berbicara mengenai karakter-karakter manusia Yesus dan memberikan tambahan keterangan pada Injil-injil itu yang membuat Yesus sama dengan Tuhan. Injil-injil yang muncul terlebih dahulu dinyatakan tidak sah, dikumpulkan, dan dibakar.
Injil-injil yang muncul terlebih dahulu yang dimaksudkan Teabing di sini adalah dokumen-dokumen Gnostik yang ditemukan di Nag Hammadi. Tindakan-tindakan penindasan ini diduga dilanjutkan sepanjang sejarah oleh Vatikan, yang programnya adalah ‘mendukung penetapan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan menggunakan pengaruh Yesus untuk memperkuat dukungan kepada mereka’. Cerita tersebut menyatakan bahwa selama empat abad pertama setelah kematian Yesus, banyak dokumen yang menuliskan kronologi kehidupan Yesus sebagai seorang manusia biasa, tetapi Konstantinus merevisi sejarah dengan menggantikan semua dokumen ini dengan empat Injil Kanon.
Pate dan Pate mengungkapkan bahwa Brown melakukan kesalahan fatal tentang sejarah dalam hal ini, karena pengakuan atas keotentikan keempat kitab Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya sudah ada sebelum Konsili Nicea tahun 325 M. Mereka mengungkapkan:
“Brown salah ketika dia menyatakan bahwa Konstantinus memberlakukan penggunaan empat Injil kanonik di dalam gereja pada tahun 325 Masehi. Sebaliknya, jauh sebelum zaman Konstantinus dan bahkan sebelum injil-injil Gnostik ada, empat Injil Perjanjian Baru dianggap dapat dipercaya oleh gereja. Misalnya, Irenaeus pada tahun 125 Masehi mengakui Injil yang terdiri atas empat macam. Tatian, seorang murid bapa gereja Justin Martyr, menggabungkan keempat Injil menjadi satu kesatuan pada tahun 175 Masehi (yang disebut Diatessaron – kata dalam bahasa Yunani untuk menyebutkan “melalui keempat-empatnya”) karena keempat Injil tersebut diterima dengan begitu baik di gereja-gereja. Sebelumnya, Justin sendiri menyatakan bahwa keempat Injil tersebut benar-benar memenuhi syarat untuk disebut Injil kanon dan menyebut keempat Injil tersebut sebagai laporan-laporan mengenai peristiwa penting yang dibuat oleh para rasul.”[23]
Selanjutnya Pate dan Pate menuliskan:
“Berasal dari akhir abad kedua Masehi, kanon Muratorian (sebuah daftar kitab kanon yang diberi nama yang sama dengan nama orang yang menemukannya) mencatat keempat Injil tersebut sebagai Injil yang resmi bagi gereja. Origen (kira-kira tahun 185-254) memberikan persetujuan dalam tulisannya Homily on Luke 1:1 (khotbah mengenai Lukas 1:1) bahwa hanya empat Injil yang seharusnya diterima oleh gereja. Menjelang tahun 325 Masehi, Uskup Athanasius di gereja Timur dan pusat kekuasaan Paus di Barat mengakui empat Injil saja….Eusibius, sejarawan gereja pada abad keempat Masehi yang menulis Ecclesiastical History (sejarah gereja), menyetujui pendapat Origen bahwa Injil kanon seharusnya dibatasi pada empat Injil saja yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.”[24]
Hal senada juga diungkapkan oleh Josh Mc Dowell:
“Seringkali orang-orang yang kurang percaya menuduh: Bagaimana orang-orang Kristen dapat percaya bahwa dua puluh tujuh kitab yang diakui sebagai Kitab Suci oleh orang-orang yang bisa saja keliru dalam sebuah konsili abad ke-4 adalah Firman Allah? Akan tetapi, pertanyaan ini memberikan pandangan yang kacau mengenai kanon Perjanjian Baru. Kata ‘kanon’ adalah suatu transliterasi dari sebuah kata Yunani yang terutama berarti tongkat atau norma. Kata itu kemudian mendapat arti norma iman, dan lebih kemudian lagi, suatu daftar atau katalogus kitab-kitab Perjanjian Baru yang disahkan. Akan tetapi, lama sebelum konsili itu bersidang, orang-orang Kristen, terutama para penatua gereja setempat, terus-menerus telah mengumpulkan, menilai, dan memutuskan yang mana dari karya-karya tulisan yang banyak pada zaman itu mengandung wewenang para rasul. Pertanyaan yang diajukan tentang setiap tulisan yang akan dibaca di gereja-gereja ialah: sejauh mana kitab (surat, narasi, wahyu, atau injil) ini memiliki gambaran yang asli dan murni mengenai kehidupan dan ajaran Yesus dan para rasul-Nya? Dengan demikian, seperti yang dikatakan oleh Donald Guthrie, “Isi kanon itu ditentukan oleh pemakaian umum, bukan oleh pengumuman otoriter”….Geisler dan Nix menyimpulkan, “Kanonitas diputuskan atau ditetapkan secara berwenang oleh Allah; kanonitas ini hanya ditemukan oleh manusia”.”[25]
Karena itu, tidak masuk akal bagi Brown untuk menegaskan melalui Teabing bahwa Konstantinus memberlakukan penggunaan empat Injil di gereja. Kenyataannya adalah bahwa sejak awal, gereja telah menolak injil-injil gnostik dan memilih untuk menggunakan Injil kanonik. Seorang pakar kitab Perjanjian Baru dari gereja Katolik Roma yang diakui secara luas, Raymond Brown berpendapat bahwa:
“Apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen pada abad kedua sampai abad ketiga dalam mengambil tindakan untuk mengakui keempat Injil ini dan menolak injil-injil lainnya adalah menolak “gagasan-gagasan yang bodoh dan tidak berguna dari abad kedua”, dan dia menambahkan, “Sampai sekarang, gagasan-gagasan itu masih bodoh dan tidak berguna.”[26]
Kenyataannya adalah bahwa pengakuan Yesus adalah Tuhan bukanlah atas instruksi Konstantin pada tahun 325 M seperti yang diduga oleh Brown, tetapi telah dituliskan secara jelas pada abad pertama di dalam keempat Injil kanonik.
“Demikian juga dengan Rasul Paulus (Filipi 2:9-11) dimana dia menyebut Yesus sebagai “Tuhan”, kata dalam bahasa Yunani yang artinya sama dengan kata Yahweh dalam bahasa Ibrani. Ben Witherington merangkum bukti untuk klaim ini: Yesus disebut theos (Allah) sekitar tujuh kali dalam Perjanjian Baru, termasuk dalam Injil Yohanes, dan Dia dipanggil “Tuhan” berulangkali. Tidak ada seorang sejarawan pun yang aku kenal berpendapat bahwa teks-teks ini ditulis setelah konsili Nicea. Konsili Nicea pada abad keempat dan konsili Chalcedon pada abad kelima hanya meresmikan dan memperjelas keyakinan-keyakinan pada abad pertama ini dengan membuatnya sebagai bagian dari pengakuan iman tersebut.”[27]
Kesalahan ketiga: “Yesus menikah dengan Maria Magdalena”[28]
Pernyataan-pernyataan yang paling menyinggung dalam The Da
Vinci Code adalah Maria Magdalena (Maria dari Magdala, sebuah kota di tepi Danau Galilea; Lukas 8:2) adalah istri Yesus dan melahirkan anak-anak Yesus, dan ini adalah sebuah rahasia yang ingin ditutupi gereja untuk melindungi keilahian Yesus. Dalam novel tersebut, Maria Magdalena juga secara langsung dikaitkan dengan Cawan Suci. Pengaitan dengan Cawan Suci berasal dari gagasan mengenai Darah Suci dan garis keturunannya “Sangreal”. Permainan kata pada istilah Sangreal membawa kita pada sebuah hubungan dengan Cawan Suci. Hipotesisnya adalah kisah mengenai Cawan Suci sesungguhnya menunjuk pada garis keturunan suci Yesus dan Maria Magdalena yang pergi ke Prancis. Gagasan ini telah disebutkan sebelumnya dalam buku “Holy Blood, Holy Grail”, yang memperkenalkan gagasan bahwa Cawan Suci adalah rahim Maria Magdalena.
Dalam The Da Vinci Code, Maria dikatakan ada dalam lukisan Leonardo da Vinci yang berjudul “The Last Supper” (Perjamuan Terakhir). Buktinya adalah bentuk huruf V pada sisi kiri Yesus ketika orang melihat lukisan tersebut. Ini adalah simbol kewanitaan, dan seorang figur yang berwajah kewanitaan pada sisi kiri huruf V adalah Maria dari Magdala. Leonardo mengetahui rahasia garis keturunan tersebut dan memberikan petunjuk mengenai hal tersebut dalam lukisannya. Dari bagian kecil dalam lukisan inilah, novel tersebut mendapatkan judulnya, The Da Vinci Code.
Keberatan-keberatan yang dapat diungkapkan oleh penulis terhadap pernyataan Brown tersebut adalah:
Pertama, keterangan Injil-injil mengenai Maria Magdalena tidak memberikan petunjuk apa pun bahwa dia dan Yesus menikah. Berikut ini adalah keterangan-keterangan tersebut: 1)Yesus mengusir roh jahat dari Maria (Lukas 8:2); 2) Maria menyaksikan penyaliban Yesus (Markus 15:40-41; Matius 27:55-56; Yohanes 19:25). 3) Dia hadir pada pemakaman Yesus (Markus 15:47; Matius 27:57-61; Markus 16:1). 4) Dia adalahh orang pertama yang bertemu dengan Yesus setelah Yesus bangkit dari kematian (Yohanes 20:10-17). 5) Dia bersama-sama dengan para wanita lain memberitahukan kebangkitan Yesus kepada para rasul (Lukas 24:10; Yohanes 20:18). Fakta yang muncul dari keterangan-keterangan tersebut adalah bahwa, kecuali dalam Yohanes 20:10-18, Maria dan Yesus secara terus-menerus ada di tengah-tengah orang lain ketika bersama-sama. Dalam keterangan Yohanes, Maria akan menyentuh Yesus karena rasa terkejut dan sukacaita pada pagi Paskah pertama. Tetapi Yesus melarangnya, jadi tidak ada petunjuk apa pun yang mengarah kepada hubungan seks dalam kisah tersebut. Dan walaupun Maria mendukung pelayanan Yesus, tidak ada petunjuk dalam empat Injil bahwa Maria Magdalena adalah seorang rasul, atau memiliki posisi istimewa di antara pengikut Kristus dan yang lebih penting adalah bahwa Maria Magdalena tidak dikagumi secara berlebihan oleh Yesus.
Kedua, selain itu tidak ada petunjuk yang memberikan gambaran bahwa Maria Magdalena adalah wanita yang memiliki reputasi yang buruk. Padahal Dan Brown dalam novelnya terpengaruh oleh pendapat ‘kebanyakan’ yang memperkirakan Maria Magdalena adalah seorang wanita mantan pelacur. Pemberian identitas ini bersumber dari tindakan mencampuradukkan kisah mengenai seorang wanita berdosa yang tidak disebutkan namanya yang mengurapi kaki Yesus dengan minyak (Lukas 7:37-38) dengan Maria yang dilepaskan Yesus dari kuasa roh jahat (Lukas 8:2). Selain itu kita tidak mempunyai dasar yang kuat apabila mengasosiasikan wanita pezinah dalam Yohanes 7 adalah Maria Magdalena. Bahkan kita pun tidak dapat mengasumsikan bahwa, karena kota Magdala diduga dikaitkan dengan kota pelacuran, maka secara otomatis Maria Magdalena terlibat dalam pekerjaan yang sama. Pate dan Pate mengatakan: “Teori-teori seperti itu merupakan dugaan belaka dan tidak memiliki dasar kenyataan.”[29]
Ketiga, sebagaimana telah disinggung pada kesalahan pertama yang dibuat Dan Brown di atas kita ketahui bahwa Dan Brown mengkonstruksi sendiri menurut seleranya bagian-bagian yang rusak dalam injil Filipus dan Injil Maria sehingga menjadi terbaca kalimatnya akan mempunyai makna yang tendensi ke arah hubungan intim yang dimiliki oleh Yesus dan Maria Magdalena. Padahal sampai hari ini belum ada ahli yang bisa memastikan apa kata-kata yang hilang dari injil Filipus dan Maria tersebut, sehingga pendapat Brown dengan sendirinya gugur.
Kesalahan keempat: “Tipe kekirstenan yang paling benar pada hakikatnya bersifat seksual, yang dimulai dari Yesus dan dilanjutkan oleh injil-injil Gnostik, namun gereja zaman Konstantinus dan gereja-gereja sesudahnya menyembunyikan kebenaran ini.”[30]
Melalui tokoh Langdon dalam novelnya, Brown menyatakan bahwa hubungan seks antara pria dan wanita adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan ‘gnosis’ (pengetahuan mengenai hal yang ilahi). Inilah yang disebut Langdon sebagai ‘Hieros Gamos’ (Perkawinan Suci).
Salah satu kejadian yang paling berpengaruh dalam novel tersebut terjadi pada awal musim semi di Normandy. Sophie Neveu menemukan kakeknya, Jacques Sauniere, sedang melakukan upacara seks rahasia di ruang bawah tanah rumah tuanya di desa. Upacara tersebut disaksikan oleh para penyembah yang mengenakan topeng, menari-nari, dan menyanyi. Para pria memakai baju hitam, dan para wanita mengenakan baju putih. Kemudian Robert Langdon memberikan penjelasan kepada Sophie yang kebingungan bahwa upacara yang dia saksikan adalah Hieros Gamos dan bahwa upacara tersebut bukan mengenai seks melainkan mengenai kerohanian, bukan penyimpangan melainkan sebuah upacara yang sangat suci.
Kejadian ini adalah satu-satunya penjelasan lebih jauh mengenai pengalaman kerohanian dalam keseluruhan isi novel. Tujuan upacara ini bagi si pria adalah untuk mendapatkan, pada saat terjadinya orgasme dalam persetubuhan dengan seorang wanita, kepenuhan rohani dan gnosis, atau pengetahuan rahasia. The Da Vinci Code tidak menyatakan bagaimana si wanita mendapatkan pengetahuan karena dia hanyalah sebuah ‘cawan’ dalam ritus tersebut. Namun si pria, dengan bantuan penonton yang menyanyi, dapat mencapai momen terpenting ketika pikirannya sepenuhnya kosong dan dia dapat melihat Allah.
Namun menurut The Da Vinci Code, semua ini diubah oleh gereja Katolik pada zaman Konstantinus dan zaman-zaman setelah itu. Langdon menjelaskan, penggunaan seks oleh manusia untuk bersekutu degan Tuhan menghadirkan ancaman serius bagi sumber kekuatan gereja Katolik. Ini membuat peran gereja tidak dibutuhkan lagi, yang merusak status yang mereka akui sendiri sebagai satu-satunya sarana untuk berhubungan dengan Tuhan. Karena alasan-alasan yang jelas, mereka bekerja keras untuk menganggap seks sebagai perbuatan setan dan merumuskannya kembali sebagai sebuah tindakan yang menjijikkan dan berdosa. Akibatnya gereja menciptakan perubahan sudut pandang terhadap seks. Para lelaki suci yang pernah diminta melakukan penyatuan seksual dengan rekan-rekan perempuan mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan, sekarang khawatir desakan alamiah mereka itu dianggap sebagai tindakan setan. Hasil akhirnya adalah gereja mempertahankan kuasa atas khalayak karena gereja menggantikan persekutuan dengan Tuhan melalui seks dengan persekutuan dengan Tuhan melalui gereja.
Uniknya, keyakinan yang dimiliki Brown di dalam novelnya ternyata kita temukan dalam tulisan-tulisan Gnostik seperti Injil Filipus yang ditemukan di Nag Hammadi, sebagaimana diungkapkan oleh Pete dan Pete.[31] Dan model aliran keagamaan yang semacam ini bukanlah hal yang baru daalm Alkitab, karena para nabi Perjanjian Lama mengutuk ritus-ritus kafir seperti itu, terutama ritus kesuburan dari Kanaan (Hakim-hakim 2:11-23; 1 Samuel 7:3-4; 1 Raja-raja 11:4-8).
“Dari loh-loh batu Ras Shamra yang ditemukan di Syria pada tahun 1920-an, kita mendapatkan pengetahuan langsung mengenai agama-agama di Kanaan pada saat pendudukan Israel atas Palestina, mulai tahun 1200 sebelum Masehi. Keterangan dalam loh-loh batu tersebut sama dengan keterangan dalam Perjanjian Lama, yaitu: para pria Kanaan diharuskan berhubungan seks dengan imam-imam pelacur wanita; tindakan ini melambangkan hubungan seks antara dewa-dewa laki-laki dan perempuan, yang menjamin hasil panen yang melimpah ruah.”[32]
BAB III
KESIMPULAN
Akan mudah menganggap The Da Vinci Code melulu sebagai novel hebat seandainya Dan Brown tidak beberapa kali menegaskan bahwa novel tersebut diyakininya ditulis berdasarkan kenyataan. Karena itu, novel ini bukan sebuah karya fiksi, melainkan sebuah karya yang mencerminkan keyakinan Dan Brown. Pada hakikatnya, novel tersebut tidak hanya menghina gereja Katolik, tetapi juga menentang sistem keyakinan orang-orang Protestan dengan memberi gambaran yang sangat berbeda mengenai Yesus.
Tidak ada petunjuk apa-apa yang mengarah pada bahwa Yesus dan Maria adalah sepasang kekasih kemudian menikah dan mempunyai anak seperti yang diduga oleh Brown.
The Da Vinci Code, meskipun merupakan sebuah novel, menyajikan “fakta-fakta” lain yang sangat banyak, yang dalam kenyataannya, merupakan hal yang dilebih-lebihkan atau kebohongan yang menyeluruh. Akhirnya, kata-kata Rasul Paulus mengingatkan kita: “Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.”[33]
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2006.
Brown, Dan. The Da Vinci Code. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Dowel, Josh Mc. Apologetika Volume 3 (Malang: Gandum Mas, 2004).
Evans, Craig A. Merekayasa Yesus. Yogyakarta: Andi Offset, 2007.
Herlianto, Menggugat Yesus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2008.
______, Yesus Digugat. Bandung: Mitra Pustaka, 2006.
______. Kode Da Vinci Fakta Di Sela-Sela Fiksi. Bandung: Mitra Pustaka,
2005.
Pate, C. Marvin dan Pate, Shery L. Disalibkan Oleh Media Fakta Dan Fiksi
Tentang Yesus Sejarah. Yogyakarta: Andi Offset, 2007.
White, James Emery. The Da Vinci Question. Yogyakarta: Andi Offset, 2006.
Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/Gnosis diakses pada tanggal 10 November 2010.
[2]Penulis sendiri selain telah membaca novel The Da Vinci Code juga telah menonton filmnya sebanyak dua kali.
[10]C. Marvin Pate dan Shery L. Pate, Disalibkan Oleh Media Fakta Dan Fiksi Tentang Yesus Sejarah (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 117.
[13]Apokrifa atau apokrif. Menurut Josh Mc Dowel Kata ini didapat dari sebuah kata Yunani yang berarti “hal-hal yang tersembunyi”. Apokrif itu sendiri biasanya merujuk kepada empat belas (atau lima belas) kitab yang keaslian dan kewenangannya diragukan, dan kebanyakan di antaranya tertulis di antara tahun 250 sM dan masa hidup Yesus. Kitab-kitab ini juga disebut Apokrif Perjanjian Lama. Namun ada juga kelompok tulisan-tulisan lain yang sering disebut Apokrif Perjanjian Baru. Istilah Apokrif memang pantas untuk banyak dari karya-karya tulisan ini karena sering mengaku hendak memberi tahu tentang hal-hal yang rahasia atau tersembunyi dari kehidupan dan ajaran Yesus serta murid-murid-Nya. Josh Mc Dowel, Apologetika Volume 3 (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm. 129-130.
[15]Gnosis (dari salah satu kata Yunani untuk pengetahuan, γνῶσις) adalah pengetahuan spiritual atau mistis suci tercerahkan manusia. Dalam budaya asalnya (Bizantium dan Yunani) istilah Gnosis adalah pengetahuan atau wawasan ilahi, tak terbatas dan tidak diciptakan dalam semua dan di atas semua, daripada pengetahuan ketat ke dalam dunia terbatas, alam atau materi. Gnosis adalah transendental serta pemahaman dewasa. Hal ini menunjukkan pengetahuan langsung pengalaman spiritual dan pengetahuan intuitif, mistik dan bukan dari rasional atau beralasan berpikir. Gnosis sendiri diperoleh melalui pemahaman di mana orang dapat datang melalui pengalaman batin atau kontemplasi seperti pencerahan internal intuisi dan pencerahan eksternal seperti Teofani. (http://en.wikipedia.org/wiki/Gnosis diakses pada tanggal 10 November 2010).
[17]Craig A. Evans, Merekayasa Yesus (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 102.