Oleh: Yohanes R. Suprandono, M.Th.
Pendahuluan
Adanya kecenderungan orang-orang Kristen untuk di satu sisi bersikap legalistik, di sisi lain menjadi penganut antinomianisme, atau menjadi orang yang hidupnya penuh kepalsuan dan kepura-puraan, oleh karena itu maka mereka perlu ditantang kembali dengan pemahaman akan titah-titah Tuhan dalam kerangka berpikir yang baru. Orang Kristen penganut legalisme menganggap titah Tuhan harus ditaati dengan kekuatan sendiri dan menuntut orang lain melakukan praktek-praktek ketaatan yang dipaksakan dan diperberat. Ekstrim sebaliknya orang Kristen penganut antinomianisme yang hidup bebas tanpa aturan dan ketertiban, kehidupannya tidak disiplin sehingga tidak berbuah. Yang terakhir, kelompok orang Kristen yang tidak memiliki integritas- tidak ada keterpaduan antara apa yang dipercayai dengan kelakuan mereka sehari-hari. Mereka perlu memahami dengan sudut pandang yang benar terhadap titah-titah Tuhan, supaya mereka terhindar dari pemikiran dan sikap ekstrim di atas, hingga sebagai hasilnya mereka akan menjadi orang Kristen yang otentik. Orang Kristen yang dikenan dan menjadi lh;q ; umat kesayangan Tuhan.
Secara teologi dan sejarah, Walter Eichrodt telah memberikan penjelasan konsteks kedalaman hubungan Allah dan umat-Nya. Perjanjian (Covenant) menurutnya sebagai pusat teologi Perjanjian Lama (disingkat: TPL). Covenan adalah sebuah tema yang menyatukan. Ia menegaskan tentang kegiatan Allah di antara umat-Nya. Menurutnya, sifat kharakter yang unik dari Allah Israel adalah memegang bersama-sama gagasan tentang kuasa ilahi yang tanpa batas – a divine power without limitation dan kegiatan Allah dengan membatasi diri – a divine act of self limitation, dalam membangun sebuah covenant (brit)-sebuah tindakan di mana Allah membuat diri-Nya dikenal sebagai berdaulat dan memiliki kehendak pribadi
-as sovereign and personal will. Kehendak Allah yang dinyatakan dalam Perjanjian, memberikan kuasa yang membuat manusia mengetahui siapa mereka. (1961:286-296). Kehendak Allah menyatukan suku-suku Israel menjadi bangsa Qahal atau edah hd;[ artinya “persekutuan” atau “jemaat”- yang mengandung nuansa religius tertentu.
Atau kadang kala disebut myhla< m[ ‘am Elohim “umat Allah” atau hwhy m[ ‘am Yahweh” “Umat Yahweh”. 66
Selanjutnya seorang pakar Teologi PL Walter C Kaiser Jr dalam buku, Teologi Perjanjian Lama , melihat tema janji (The promise) sebagai pusatnya. Ia menunjukkan tema ini dikenal dalam PL, dengan konstelasi kata seperti janji, sumpah, perhentian, keturunan dan rumusan seperti tiga lapis: “Aku hadir di tengah-tengahmu dan Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” atau rumusan pernyataan keselamatan yang tersebar sebanyak 125 kali dalam PL : “ Akulah Tuhan Allahmu yang membawa kamu keluar dari Mesir”. Hal ini dapat dilihat sebagai satu rencana ilahi dalam sejarah yang menjanjikan suatu berkat universal atau tema “janji berkat ilahi”. Kejadian 12:3 : “…olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu rencana ilahi dalam sejarah yang menjanjikan suatu berkat universal atau “tema janji berkat ilahi.” (2004:24-25, 50-53).
Dalam kerangka teologi perjanjian dan teologi janji berkat yang diawali dari kitab Kejadian dan teologi penebusan dalam kitab Keluaran, dekalog akan dijelaskan. Eugene H Merill mengatakan: “… fungsi formal serta teologis dari dekalog menjadi jelas ketika dilihat menurut konteks penebusan dalam kitab keluaran dan melalui maksud Allah memilih Israel menjadi bangsa yang menjadi hamba-Nya, yang dibawa ke dalam hubungan perjanjian dengan Dia untuk melayani sebagai kerajaan imam (Imamat yang rajani)…” Selanjutnya dikatakannya: “Peristiwa Keluaran telah membebaskan bangsa itu dari perbudakan kepada tuan lain, sehingga ia bisa mulai melaksanakan pertanggungjawaban kepada TUHAN. Teks perjanjian itu, khususnya Sepuluh Perintah, memberi petunjuk agar bangsa yang diistimewakan itu mengatur dirinya agar sungguh-sungguh bisa menjadi bangsa yang kudus yang dapat mempertunjukkan Kerajaan Allah dan mengkomunikasikan kebaikan-kebaikan serta janji-janji keselamatan bagi dunia (lingkungan) lebih luas yang terdiri dari umat manusia yang terasing.” (2005: 82-83)
Perjanjian yang diterima bapak- bapak beriman (patriakh) dan Israel sebagai umat Tuhan merupakan sebuah pilihan yang didasarkan pada anugerah yang tak bersyarat. Meskipun demikian, jika diperhatikan pembahasan dekalog dalam konteks dekatnya yakni Keluaran 19, rupanya ada syarat yang diberikan untuk menjadi umat kesayangan, kerajaan imam yang kudus, yakni dengan harga sebuah ketaatan akan perintah Allah. Di sini nampak jelas kedudukan Allah sebagai TUHAN dan Israel di sini memiliki posisi sebagai hamba. Penggenapan janji Allah sangat tergantung kepada pilihan Israel untuk taat.
Hal yang demikian juga berlaku bagi orang-orang Kristen yang adalah umat Perjanjian Baru -a new Covenant people- yang dimeteraikan dengan darah Yesus yang adalah darah perjanjian -The blood of covenant (Mat. 26:28- For this is My blood of the new covenant, which is shed for many for the remission of sins- NKJV). Kristus adalah domba Allah yang menjadi
harga tebusan. Dengan menerima Kristus, kita menerima pemberian Allah sebagai anugerah, keselamatan dalam Kristus kita terima dengan iman bukan sebagai hasil perbuatan (Baca: Ef. 2:8-10 “For it is by grace you have been saved, through faith- and this not from yourselves, it is the gift of God- 9 not by works, so that no one can boast. 10 For we are God’s workmanship, created in Christ Jesus to do good works, which God prepared in advance for us to do-NIV. Huruf italic ditambahkan penulis). Meskipun demikian ada pekerjaan baik yang dipersiapkan Alllah sebelumnya bagi kita. Kita (baca: orang Kristen) dipanggil untuk membayar harga pemuridan dengan mengikuti Yesus (baca: Titah-Nya), menyangkali diri dan memikul salibnya (Baca: Mat. 10: 38 “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.”). Dengan perkataan lain, ada harga yang harus di bayar yaitu ketaatan kepada Tuhan dan Juru Selamat kita Yesus Kristus. Pendeknya baik bagi umat Yahweh maupun umat Perjanjian Baru, ada titah Allah yang harus ditaati. Hal ini terjadi oleh karena kita ada di dalam otoritas Allah. Firman itulah yang akan mengarahkan kehidupan moral, rohani dan kehidupan sosial. Adapun tujuannya untuk menghasilkan pengenalan yang lebih baik akan Allah dan komitmen yang lebih besar kepada-Nya.
Atas dasar alasan ini, maka pembahasan dasa titah bagi orang Kristen masih relevan. Hal ini juga dikarenakan dasa titah merupakan hukum yang sifatnya moral yang bersumber dari kharakter Allah yang kudus dan adil. Istilah Ibrani mitswah yang artinya perintah atau titah yaitu perintah Allah untuk ditaati dan diajarkan kepada generasi baru yakni anak-anak kita.
Bagi orang Kristen (baca: Gereja), prinsip-prinsip atau ajaran PL yang tidak dibatalkan atau tidak diubah dalam Perjanjilan Baru bersifat normatif artinya masih berlaku. Secara spesifik di sini berkenaan dengan 10 perintah Allah masih berlaku, namun demikian orang Kristen mentaatinya dengan cara dan dalam atmosfir yang baru- tidak bersifat legalistik, melainkan dalam anugerah oleh Roh Kudus, kita mentaati perintah-Nya. Dalam Injil, dasa titah telah diringkaskan Tuhan Yesus menjadi hukum kasih (lihat, Mat 22:37-39 ). Dalam surat Paulus, dinyatakannya bahwa kasih itulah kegenapan hukum Taurat (lihat, Rom 13:8-10).
Roh Kudus sendiri yang berdiam dalam diri orang Kristen dan Ialah yang telah menuliskan hukum itu dalam hati kita-orang- orang yang telah percaya pada Injil Yesus Kristus (bdg. 2 Kor. 3:3).
Sebenarnya dasa titah memiliki dua sasaran- untuk mengembangkan hubungan rohani dengan Tuhan yakni mengasihi Tuhan dengan segenap hidup (Titah 1-4) dan mengembangkan kehidupan moral yang benar dalam hubungan dengan manusia- mengasihi sesama manusia (titah 5-10). Hal ini merupakan skema dua jalan yang sangat berguna untuk menjelaskan kewajiban fondamental manusia kepada Allah (kewajiban religius) dan kewajiban manusia kepada sesamanya (kewajiban moral).
Juga masih menurut Rasul Paulus, untuk menjadi orang Kristen jaman sekarang bukan berarti hidup tanpa hukum (antinomian), sebaliknya ada standar yang dipakai sebagai pola hidup Kristen. Tuhan Yesus Sang Guru Agung kita bahkan memberikan standar yang lebih tinggi bagi pengikutnya. Yesus berkata: Hendaklah kamu sempurna, sebab Bapamu sempurna (Mat. 5:48). Menjadi sempurna artinya terus bertumbuh menjadi dewasa atas dasar ketaatan atas titah-Nya.
Untuk mendapat makna dasa titah bagi orang Kristen dilakukan dengan cara mendeskripsikannya, dan baru kemudian menerapkannya dalam kehidupan orang Kristen. Penulis akan memusatkan perhatian pada soal menguraikan “arti dari ayat” dan baru kemudian makna ayat itu untuk masa kini. Namun demikian akan coba dipahami latarbelakang Alkitab dari sudut lingkungan sosio kulturalnya, tatanan sosialnya, dan lingkungan kebudayaannya di antara agama-agama dan bangsa-bangsa lain di sekitar Israel.
Penjabaran Dasa Titah dalam Keluaran 20:1-21
Dasa titah merupakan hukum dasar umat Perjanjian, yang pertama kali di catat dalam Keluaran sebagai Perjanjian Sinai, kemudian di baharui lagi dalam perjanjian di dataran Moab dalam Ulangan 5. Dalam kedua catatan itu tidak ada perbedaan esensi. Dalam kesempatan ini akan diuraikan dari catatan dasa titah dalam perjanjian di Sinai.
Pada pokoknya, hukum taurat mengungkapkan sifat kehidupan dalam perjanjian (Kel. 19:5-6). Legislasi yang dibuat Tuhan sebagai Raja Israel, dimaksudkan untuk mengatur umat dalam menjalin hubungan vertikal dengan diri-Nya dan hubungan horisontal dengan sesama anggota Umat Conenan. Konstitusi yang di dasarkan pada kasih kepada Sang Raja dan kasih kepada sesama umat milik sang Raja. Di atas fondasi perjanjian (covenan), di tegakkan dua pilar untuk secara totalitas mengasihi Tuhan dan Rajanya dan sebagai implikasinya mengasihi sesamanya.
Nampak dengan jelas sekali, Tuhan yang sedang membentuk Negara teokrasi, Ia hendak memelihara umat-Nya dengan memberikan struktur, kebijakan dan prosedur dalam hidup bersama. Hal ini demi menjamin ketertiban dan pemeliharaan masyarakat yang baru. Kebijakan masyarakat Israel dilandasi dengan pengertian dirinya sendiri sebagai suatu masyarakat Perjanjian. Dan melalui pembukaan dasa titah (Yunani: dekalog- deka artinya sepuluh, Log-logos artinya titah, sabda), akan dilihat karakeristik ilahi sebagai pemakluman kehendak Allah yang menuntut umat dalam sikap iman kepada- Nya.
Menurut seorang pakar PL, Vriezen, dasa titah berasal dari zaman Musa. Adapun alasannya; para nabi memanfaatkan tradisi dasa titah; Daud tunduk secara mutlak terhadap hukum ini- artinya- “hukum di atas raja.” Dasa titah sebagai ringkasan hukum apodiktik- janganlah engkau, menjadi dasar untuk hukum pidana di Israel. Hukum berfungsi mencegah pelanggaran- pelanggaran ekstrem, dan secara positif untuk membela hak-hak azasi warga Israel, ini merupakan pedoman ideal, penggarisan prinsip-prinsip dasar atas norma-norma kehidupan nasional dan bukan rumusan yuridis ketat. Kalimat-kalimat dasa titah mencakup seluruh kehidupan yakni agama, keluarga, masyarakat, harta benda, kelakuan dan proses dalam proses-proses pengadilan.
Masih menurut Vriezen, bahwa dunia Asia Barat Daya kuno sudah agak biasa dengan rumusan hukum berupa perencanaan pembaharuan masyarakat. Biasanya program tersebut dirumuskan oleh Raja pada awal periode kedaulatannya , yaitu sebagai titik tolak dari zaman baru. Dasa titahpun memberikan kesan bahwa rumusannya dimaksudkan sebagai program penginagurasian zaman baru. Misalkan, dalam kata-kata pembukaannya yang langsung dengan pernyataan Yahweh. Dasa titah merupakan ringkasan prinsip-prinsip hukum paling awal, yang dimaksudkan memberikan arah pada kehidupan masyarakat yahwistis yang baru, dalam semua hubungan internnya, baik bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
Vriezen berbeda dengan pendapat Mendenhall yang menganggap rumusan dasa titah itu mirip sekali dengan rumusan–rumusan seperti yang terdapat dalam naskah-naskah perjanjian Hatti (Hetit) sehingga dasa titah harus dipandang sebagai naskah perjanjian yang formal, bahwa naskah dasa titah sebaya dengan naskah-naskah perjanjian Hetit. Vriezen berpendapat, dasa titah lebih mirip kodex hukum daripada naskah perjanjian. Misalkan, kalimat pembukaan lebih mirip pembukaan kodeks Hamurabi (2000: 145-149).
Meskipun ada kemiripan dalam segi peredaksiannya, dengan catatan historis bangsa-bangsa tetangga di Asia Barat Daya kuno, mungkin saja mirip dengan model naskah perjanjian atau mirip dengan kodex hukum, namun yang pasti bagi Dyrness, tetap saja sifat-sifat hukum Taurat mengungguli hukum-hukum bangsa tetangganya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kharateristiknya sebagai berikut; 1. Jangkauan yang luas -seluruh kehidupan dalam kontrol kehendak Allah; 2. Imbauan yang bersifat pribadi artinya alasan yang paling kuat untuk taat haruslah hati yang tergugah, suatu keputusan batin dan moral pribadi; 3. Kekuatan mutlak karena didasarkan pada kekudusan Allah sehingga menuntut kesempurnaan seluruh umat- Nya; 4. Penerapan yang bersifat universal- berlaku untuk semua bangsa (2004: 118-120).
Sekarang kita sampai kepada pembukaan dasa titah, di sana dinyatakan : “Akulah TUHAN, Allahmu” (Kel. 20:2). Ini menunjukkan relasi khusus TUHAN dengan Israel. Hukum diberikan sebagai akibat relasi ini. Hukum Taurat menunjukkan kepada bangsa itu perilaku yang bagaimana yang sesuai dengan kedudukan mereka sebagai umat kepunyaan Allah. Israel tidak mematuhi hukum Taurat supaya menjadi umat Allah tetapi justru sebaliknya mereka adalah umat Allah. Hubungan dengan Allah sebagai umat perjanjian dan pemberian hukum Taurat itu merupakan pernyataan anugerah Allah. Tanggapan yang layak dari umat-Nya terhadap prakarsa-prakarsa Allah adalah ketaatan yang konstan. Menurut pemazmur, Torah bukan merupakan beban tetapi menyenangkan (Maz. 19:10; 1:2-3). Frasa “Akulah TUHAN” juga menunjuk kepada Sang Pemberi hukum memberikan hukum itu dalam atmosfir anugerah, sebab Dialah Raja Penyelamat umat-Nya. Dalam bagian berikut ini akan diuraikan secara singkat dasa titah dan maknanya bagi orang Kristen:
Titah Pertama: “Jangan ada allah lain di hadapan-KU” (20:3)
Dilatarbelakangi oleh kebudayaan Mesir Kuno yang sangat politheistis, dimana mereka memuja banyak dewa, titah ini sangat krusial. Pengajaran ini tujuannya untuk melindungi teologi yang benar. Frasa “jangan ada allah lain” – allah–allah yang dimaksud di sini dewa-dewi asing yang dipuja bangsa-bangsa yang belum mengenal Yahweh. Sedangkan frasa “di hadapan-Ku” dalam bahasa aslinya artinya “kecuali Aku”. Barangkali ayat ini paling baik perlu diterjemahkan, “ Kalian harus tidak memilih allah lain di hadapan-Ku.” Hasil akhirnya sama: TUHAN adalah satu- satunya Allah (Kaiser,1994:99).
Orang Yahudi sebagai umat Perjanjian demikian juga Kristen dan semua orang yang mendengarkan titah ini diperintahkan supaya memeluk asas monotheisme – mengesakan Allah dalam totalitas hidupnya. Dalam PB Tuhan Yesus menekankan bahwa penyembahan dan bakti hanya boleh ditujukan kepada Allah saja (lihat, Matius 4:10).
Oleh karena titah ini ditujukan juga bagi orang Kristen, maka paling tidak ada tiga makna sbb: Satu, Ibadah orang Kristen harus ditujukan kepada Tuhan saja. tidak boleh ada doa, ibadah, mencari bimbingan dan pertolongan kepada “allah lain”. atau roh lain atau orang mati atau bentuk penyembahan berhala lainnya. (bdg. Im.17:7; Ul. 6:4; 32;17; maz. 106:37;
1 Kor. 10:19-20); Dua, Orang Kristen harus mempersembahkan hidupnya secara total kepada Allah. Hanya Allah yang telah menyatakan kehendak-Nya dan menginspirasikan Firman akan membimbing mereka (Mat. 4:4); Tiga, Orang Kristen harus memiliki tujuan dalam hidupnya untuk mencari dan mengasihi Allah dengan segenap hidupnya, jiwa dan kekuatan, bergantung kepadanya untuk menyediakan hal yang baik dalam hidupnya (Ul. 6:5; Maz. 119:2; Mat. 6:33; Fil. 3:8; Lih. Mat. 22:37; Kol. 3:5). (Full Life Study Bible,199l: 119).
Titah Kedua: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun ….” (20:4)
Secara lengkap Keluaran 20:4-6 berbunyi: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau
beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.” (Terjemahan Baru, LAI tahun 2009).
TUHAN tidak bisa dibandingkan dengan bentuk apapun. Tidak ada yang setara dengan TUHAN. Pelanggaran terhadap perintah ini merupakan penolakan terhadap “ketuhanan” Allah atas hidup mereka. Kasih setia Allah (Ibrani: hesed) seharusnya ditanggapi dengan kesetiaan kita kepada-Nya. Hukum ini mengajarkan ibadah yang benar .
TUHAN Allah – Dia adalah Allah yang cemburu (Yes. 54:21; 45:6,14). Menurut Kaiser dalam The Expositor’s Bible Commentary, kata “Cemburu” ketika digunakan untuk Allah, menunjukkan : Satu, Sifatnya yang menuntut pemujaan yang ekslusif (Kel. 34:14; Ul. 4:24; 5:9 ; 6:15): Dua, sikap yang marah yang ditujukan kepada semua yang melawannya (Bil.
25:11; Ul. 29:20; Maz. 79:5 dll, dan; Tiga, Penyembahan berhala yang disebut sebagai persundalan rohani, yang akan menyaingi atau menandingi kehormatan, kemuliaan dan nama baik karena Allah, yang akan membangkitkan kecemburaannya karena kekonsistenan karakternya dan kepribadiannya. Pelanggaran terhadap perintah ini berakibat serius dari generasi kepada generasi. Anak-anak seringkali mengulangi dosa-dosa orang tuanya dengan secara pribadi membenci Allah sehingga sebagai akibatnya mereka juga dihukum seperti orang tuanya. Musa menjelaskan bahwa itu adalah hasil dari dosa anak itu sendiri (Ul. 24:16). Efek dari ketidaktaatan bertahan dalam waktu yang lama, tetapi efek dari kasih setia Allah juga jauh lebih bertahan lebih lama “ kepada ribuan keturunan- “to a thousand generations.” (1994: 100).
Dalam PB, Lukas 16:13 menegaskan bahwa seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Jelaslah bagi orang Kristen tidak ada pilihan terbaik kecuali mentaati perintah ini. Ada upah yang menanti bagi yang hidup dalam ketaatan sebaliknya ada balasan setimpal untuk setiap bentuk ketidaktaatan akan titah ini.
Titah Ketiga: Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan…”(20:7)
Secara lengkap dinyatakan dalam Kel 20:7 “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.” (Terj. Baru. LAI. Huruf miring ditambahkan penulis). Pemakaian nama TUHAN harus pada tujuan dan sesuai dengan hakekat-Nya. Titah ini bermaksud menjaga kehormatan Tuhan. Nama Allah adalah identitas pribadinya. Menyebut nama- Nya hanya layak di dalam penyembahan- ibadah. Kata “sembarangan” dari bahasa aslinya dipakai aw>v’ shav’ {shawv} atau aw>v; shav {shav} artinya; 1) kosong, sia-sia, palsu 1a) kekosongan, kesia-siaan 1b) omong kosong, mengatakan tidak sebenarnya 1c) tingkah laku yang tidak layak (Strong, BibleWorks 6.0).
Frasa “dengan sembarang” terjemahan dari bahasa ibrani lassaw yang dalam terjemahan KJV in vain yang artinya dengan cara yang sia-sia, dengan sikap menghina dan merendahkan, tanpa makna, dengan sembrono, tidak layak. Nama Allah tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang sia-sia, tidak sungguh- sungguh. menyumpahi demi nama-Nya. Sedangkan dalam terjemahan NIV di pakai istilah misuse artinya menyalahgunakan, mengekploitasi, dengan cara sia-sia (waste), dengan cara yang tidak layak, menggunakan dengan cara yang salah. Sehingga titah ini maksudnya agar kita tidak menggunakan nama Allah misalkan, untuk merugikan dan mencelakakan orang lain. Jangan memakai nama Allah untuk mengutuk sesama.
Titah ketiga ini, berhubungan dengan fungsi kegunaan mulut dalam pemujaan kepada Allah secara benar. Dalam kebudayaan Ibrani, “nama” menunjuk kepada : 1. Sifat, keberadaan dan kepribadiaan seseorang (Maz. 20:1; Luk. 24:47; Yoh 1:12), (2) pengajaran atau doktrin (Maz. 22:22; Yoh. 17:6, 26), dan (3) Pengajaran Moral dan etika (Mikha 4:5). “Menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan” artinyan menyalahgunakannya; atau menggunakannya untuk tujuan yang sia- sia. Perintah ini tidak melarang sumpah yang resmi yang penuh kesungguhan, kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan, karena hal ini muncul beberapa kali dalam Alkitab (misalkan: Ul. 6:13; Maz. 63:11; Yes. 45:23; Yer.4:2; 12:16; Rom. 1:9; 9:1; 1 Kor. 15:31; Wah. 10:5-6).
Tuhan Yesus menegaskan sebuah larangan sumpah yang palsu. Dalam kebiasaan bangsa Israel kuno dan bangsa- bangsa sekitarnya, orang bersumpah atas nama langit, bumi, tetapi bukan atas nama Allah. Oleh karena itu patut diperhatikan peringatan Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Jangan sekali-kali bersumpah baik demi langit, karena langit adalah tahta Allah, maupun demi bumi karena bumi adalah tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar,……Jika ya hendaklah kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5: 33-37).
Titah Keempat: “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat..” (20:8)
Hukum ini dimaksudkan untuk menjaga hari sabath. Secara sederhana hari sabath adalah hari perhentian. Istilah “Sabbath” dari kata kerja bahasa Ibrani yang artinya “istirahat atau berhenti dari kerja.” Ada dua makna sabath menurut PL sbb: Satu, Makna sabath ada hubungannya dengan “penciptaan” (Kej. 2:2-3 – Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu.). Dalam Kel. 16:21-30 dijelaskan maksudnya hari perhentian penuh, tidak melakukan pekerjaan dapur (membakar dan memasak) (ay. 23). Hari sabath (hari ketujuh) adalah hari berkat bagi bangsa Israel. Berhenti dari pekerjaan dan mengingat sang Pencipta dan pemelihara alam semesta beserta segala isinya.(Fu, 2010: 234). Lebih jelas lagi, Keluaran 20:8-11 menyatakan : “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: 9 enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, 10 tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. 11 Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”. (LAI, Terjemahan Baru, 2009. Huruf cetak miring ditambahkan penulis)
Dua, Sabath juga ada hubungannya dengan “penebusan” dari perbudakan-yaitu bahwa Allah membawa Israel dari tanah Mesir dengan tangan kanan-Nya, oleh karena itu merupakan hari yang khusus/ dipisahkan untuk Allah. Ulangan 5:12-15 menyatakan:
12 Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. 13 Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, 14 tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau lembumu, atau keledaimu, atau hewanmu yang manapun, atau orang asing yang di tempat kediamanmu, supaya hambamu laki-laki dan hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga. 15 Sebab haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh TUHAN, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya TUHAN, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat. (LAI, Terjemahan Baru, 2009. Huruf cetak miring ditambahkan penulis) Allah mengingatkan Israel dulu mereka budak, kemudian sekarang setelah merdeka, maka harus ingat supaya tidak memperbudak diri sendiri dan seisi rumahnya bahkan ternaknya. Sabat digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikkan bagi sesama manusia. Jadi dengan bersabath kita menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dengan melakukan kebaikkan bagi sesama (Fu, 2010: 235)
Dalam Perjanjian Baru (PB), Yesus meluruskan makna Sabath yang telah terdistorsi pada jamannya (bdg. Mat. 12:1-14). Yesus menegaskan bahwa hari Sabath untuk manusia, sehingga di hadapan Allah manusia lebih penting daripada hari sabath. Yesus tidak mengubah makna yang esensi perhentian sabath sebagai berkat yang Allah berikan kepada manusia. Yang diubah adalah makna dan pelaksanaan perhentian hari sabath di PL yang diganti dengan makna baru sesuai ajaran-Nya. Yesus adalah Tuhan atas hari sabat (Mat 12:8). Yesus menawarkan perhentian di dalam karya-Nya . Ia memberitakan kabar baik tentang pelepasan, pembebasan dan pengampunan oleh karya-Nya (Luk. 4); membebaskan dari kuk hukum (Mat. 11), penggenapan keselamatan secara eskatologis dengan memberikan hidup (Yoh. 5), penggenapan dari istirahat Tuhan dalam karya penciptaan -divine rest dari Kej. 2:2-3, yang dimaksudkan untuk supaya manusia berbagian (Yoh. 5, Ibr. 3,4); bahwa perhentian keselamatan, sebagai kekinian realitas surgawi yang dimasuki oleh iman dan telah berhenti dari usaha sendiri (Ibrani 3, 4). Pendeknya istirahat secara jasmani dalam sabath PL telah berubah menjadi perhentian keselamatan oleh sabath yang sebenarnya. Sabath dalam perjanjian baru berarti perhentian yang sudah digenapkan lewat kematian dan kebangkitan-Nya yang membawa kelepasan dan pengampunan dari beban dosa. Dan merupakan perhentian eskatologis yaitu menerima keselamatan kekal olehn iman percaya kepada Yesus Kristus (Wahyu 14:13). (Fu, 2010: 237-238)
Respon orang Kristen terhadap perhentian di dalam Yesus Kristus adalah sebuah ibadah pada hari Tuhan (hari kebangkitan Tuhan) dengan berkumpul bersama saudara seiman untuk mempersembahkan pujian, sembahan, syukur dan persekutuan dengan sesama saudara seiman. Orang Kristen dipanggil untuk mengutamakan Allah, menyegarkan rohani kita. Dengan bersabath, orang Kristen dipanggil untuk percaya, sesungguhnya Allah yang memelihara seluruh aspek hidup kita. Di dalam segala pergumulan hidup yang berat, orang Kristen tetap percaya kepada Tuhan. Paulus adalah figur orang Kristen yang yang mendapat pewahyuan tentang bagaimana hebatnya sandaran di dalam Tuhan. Ia menemukan pewahyuan: “ Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Kor. 12:9a).
Titah Kelima: “Hormatilah Ayahmu dan Ibumu….” (20:12).
Perintah ini mengandung janji –bagi yang mentaatinya akan lanjut umurnya di tanah yang diberikan TUHAN, Allah. (bdg. Ef 6:1-3). Titah ini dimaksudkan untuk melindungi keluarga. Menghormati otoritas dimulai di dalam rumah. Dengan menghormati otoritas maka akan dibangun sebuah keluarga yang kuat. Kata “menghormati”, “honor” berarti: membicarakan hal yang baik tentang mereka; bersikap sopan; bersikap hormat; mengikuti teladan dan ajaran mereka yang mengutamakan Allah. Kaiser menjelaskan yang termasuk dalam “menghormati” , meliputi memberi penghargaan yang tinggi- menjunjung tinggi (bdg. Ams 4:8); Memelihara, menunjukkan kasih kepada mereka (Ams 91:15); dan menunjukkan rasa hormat atau takut , menyegani mereka (Im. 19:3). Anak-anak yang mentaati titah ini, akan mendapat upah (Ul. 4:1; 8:1; 16:20; 30:15-16). Penawanan Israel disebabkan salah satunya karena kegagalan mereka dalam menghormati orang tua mereka (Yeh. 22:7, 15). (1994:100).
Keith mengutif “The Large Catechism oleh Martin Luther”, menjelaskan bahwa melalui perintah ini, kita melihat TUHAN memperlakukan ayah dan ibu di pihak-Nya, dan memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang tinggi sekali. Jika kita menghormati orang tua kita, maka kita memandang mereka tinggi dan mulia. Orang tua dikhususkan dan dihargai melebihi segala sesuatu, sebagai kekayaan yang paling berharga di muka bumi ini. Lagi pula dalam berkata-kata kita harus bersikap sederhana terhadap mereka, jangan menyapa mereka dengan kasar, dengan tinggi hati, dan dengan menantang, melainkan dengan berserah kepada mereka dan diam, sekalipun kalau mereka terlalu emosional. Seharusnya kita juga menunjukkan penghormatan kepada mereka melalui perbuatan kita, yakni dengan tubuh dan harta milik kita, seharusnya kita melayani mereka, menolong mereka, dan mengurus mereka bila mereka sudah tua, sakit, lemah dan miskin, dan semua itu kita lakukan bukan hanya dengan gembira, melainkan juga dengan rendah hati dan hormat, seperti kita lakukan di hadirat Tuhan (2005:86).
Sebaliknya dari perintah ini orang tua dipanggil Tuhan untuk mengasihi anak-anak dan mendidik mereka dalam takut akan Tuhan dan di dalam jalan Allah(Ul. 4:9; 6:6-7; Ef. 6:4).
Anak-anak tetap ada dalam bimbingan orang tua sampai mereka menikah. Anak-anak kecil harus diajar untuk mentaati dan menghormati orang tuanya dengan cara dididik dalam perintah Tuhan (Ams. 13:24). Anak yang lebih besar bahkan sesudah menikah , seharusnya menunjukkan respek untuk meminta nasihat dari orang tuanya, dan tetap menghormati sampai masa tuanya dengan perhatian dan dukungan keuangan. Anak-anak yang menghormati orang tuanya akan diberkati. (Efesus 6:1-3).
Titah Keenam: “Jangan membunuh” (20:13)
Menurut Merril dalam Teologi Alkitabiah Perjanjian Lama titah ini adalah cara untuk menyatakan kembali argument “Hukum Pembalasan” (lex talionist) yang kuno dari Perjanjian Nuh : “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar- Nya sendiri” (Kej. 9:6). Manusia tidak boleh membunuh sesamanya, sebab pembunuhan seperti itu sebenarnya merupakan serangan yang mematikan terhadap Allah sendiri. Karena kehidupan adalah sakral bagi Allah pada umumnya (maka darah tidak boleh ditumpahkan ke tanah secara sembarangan atau dimakan) dan khususnya darah manusia (karena dia adalah gambar Allah), pelanggaran oleh manusia sampai mengakibatkan kematian merupakan hinaan terhadap kedaulatan Allah, dan serangan terhadap wakilnya di dunia. ..” ( 2005: 78-79). Larangan ini diberlakukan bagi pribadi-pribadi dalam hubungan dengan orang lain, dan bukan dengan pemerintah.
Titah keenam ini melarang pembunuhan. Dasar etis teologisnya, karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27; 9:6). Kata yang dipakai di sini dalam bahasa Ibrani “rasah” (8357) muncul hanya 47 kali dalam PL. Kata
ini menunjukkan bahwa membunuh sebagai hal yang dirancang dan bermaksud dengan sungguh. Oleh karena itu larangan ini tidak termasuk untuk membunuh binatang buas (Kej. 9:3), untuk mempertahankan rumah seseorang dari pencuri, rampok di malam hari (Kel. 22:2); untuk pembunuhan yang tidak disengaja (Ulangan 19:5), eksekusi hukuman mati oleh Negara (Kej. 9:6), atau keterlibatan seseorang sebagai warga negara yang sedang dilanda peperangan. Larangan ini berlalu bagi bunuh diri , dan segala jenis rancangan pembunuhan ( 2 Sam 12:9), dan berlaku bagi pemegang otoritas tetapi gagal dalam menggunakan otoritas itu untuk menghukum para pembunuh ( 1 Raj. 21:19). (Kaiser, 1994:101). Hukum ini bermaksud untuk melindungi kehidupan. Dalam pernyataan yang lebih positif, titah ini melindungi setiap anggota dalam masyarakat perjanjian (the Covenant community) hak untuk hidup.
Tuhan Yesus menegaskan larangan ini dengan memberikan standar yang lebih tinggi bagi orang Kristen dalam hubungan dengan titah ini. Ia mengatakan:
21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. 23 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, 24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. 25 Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 26 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas. (LAI, Matius 5:21-26. 2009. Huruf miring ditambahkan penulis).
Titah Ketujuh: “Jangan berjinah” (20:14)
Hukum ini untuk melindungi kemurnian dalam pernikahan. Sebagaimana titah yang pertama menuntut adanya kesetiaan yang mutlak dalam hubungan kita dengan TUHAN, maka dalam titah ke tujuh ini ada tuntutan sejenis yakni kesetiaan yang mutlak dalam perjanjian nikah. Titah ke tujuh ini memerintahkan pelarangan terhadap perjinahan.
Kata “berjinah” dari istilah Ibrani @a;n”na’aph {naw-af’}, yang artinya; berbuat jinah dan penyembahan berhala. Kata kerja “berjinah” bisa dipakai untuk keduanya baik pria maupun wanita. Hukuman terhadap perjinahan adalah kematian (Ul. 22: 22), sedangkan hukuman untuk membujuk terhadap perawan adalah dengan menikahinya atau memberikan mas kawin (Kel. 22:16-17; Ul. 22:23-29). (Kaiser, 1994:101)
Perintah ini melarang segala bentuk keburukan –ketidaksucian (uncleaness)-, dengan segala bentuk hawa nafsu yang akan menghasilkan tindakan –tindakan yang berlawanan dengan hati nurani. Tuhan Yesus mengingatkan dengan memberikan standar yang lebih tinggi sehubungan dengan titah ini tertulis dalam Matius 5:28: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.
Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. (Terjemahan Baru, LAI. 2009).
Sebenarnya titah ini merupakan titah yang bertujuan supaya kita hidup tulus dan murni dalam hati, perkataan dan tindakan.
Titah Kedeelapan: “Jangan mencuri” (20:15)
Titah ini dimaksudkan untuk melindungi hak milik. Merupakan suatu larangan untuk mencuri baik orang atau obyek (benda) dengan segala bentuknya. Tuhanlah pemilik segala sesuatu (Maz. 24:1; 115:16), dan hanya Dia yang berkuasa memberi dan mengambil. Titah ini memedulikan harta milik pribadi dan kekayaan, rumah dan harta benda. Titah ini bukan hanya pemindahan atau pengambilan secara diam-diam harta milik orang lain, tetapi juga merusakkannya atau menganggap sebagai miliknya secara curang, dengan tidak hati-hati menjaganya (Kel. 21:33; 22:13; 23:4-5; Ul. 22:1-4). Bahkan mengambil keuntungan akibat dari kebodohan penjual maupun pembeli, untuk memberi seseorang sedikit dan membuat orang lain membayar untuk sebuah komoditas lebih dari yang selayaknya, hal ini juga melanggar perintah ini.
Setiap orang sebagai bagian dari Umat Perjanjian, berhak untuk memiliki sesuatu, yang mana tidak bisa diganggu gugat oleh warga lainnya. Lebih mendasar lagi perintah ini sehubungan dengan kebebasan manusia (human liberty). Berdasarkan titah ini, baik penculikan, pembuangan, kerja paksa maupun perbudakan terhadap sesamanya dilarang (Ul. 24: 7). Kita dipanggil untuk mengakui kepemilikan orang lain, menghargai hak dan harkat dan martabatnya.
Titah Kesembilan: “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.” (20:16)
Titah kesembilan menuntut kesucian di dalam kebenaran di dalam segala aspek kehidupan, meskipun memang bahasa yang dipakai merupakan bahasa dalam proses hukum di pengadilan. Menolak kebenaran sama artinya dengan menolak Tuhan, karena kharakter dan kepribadiannya adalah benar adanya.
Titah ini dimaksudkan untuk melindungi berdusta di dalam sidang di pengadilan. Adanya pengadilan akan membuat sebuah bangsa dapat terpelihara dan lestari. Berdusta baik secara privat maupun publik dilarang oleh perintah ini. Adapun makna dari berdusta yakni tidak menceritakan secara lengkap; mengatakan setengah kebenaran; menambahi atau melebihi fakta; menyimpan kepalsuan. Oleh karena itulah Allah sangat membenci dusta (Inggris: deception).
Prinsip kebenaran ini bila dipegang akan melindungi orang terhadap kesaksian palsu (saksi dusta) tentang sesamanya, merupakan sebuah tuntutan untuk mengatakan kebenaran. Hal ini menyangkut kehidupan sesama, terutama dalam kasus pengadilan.
Hal-hal yang di larang berkaitan dengan perintah ini: Satu, Berkata-kata dengan palsu dalam segala hal, berbohong, melebih-lebihkan, dan setiap cara untuk mengembangkan dan merancang penipuan–pembohongan kepada sesama. Dua, Berkata-kata secara tidak adil melawan tetangga kita atau orang lalin, bersyak wasangka terhadap reputasinya, yang melibatkan rasa bersalah dari keduannya. Tiga, Membawa kesaksian palsu melawannya, padahal ia tahu tidak demikian, baik secara yudisial maupun dalam bentuk sumpah atau di luar proses yudisial, misalkan dalam percakapan sehari- hari, menjelek-jelekan dengan cara yang kasar, perasaan buruk, memprovokasi bahwa apa yang orang lain kerjakan tidak benar dan membuatnya lebih buruk dari itu, dan setiap cara untuk menaikkan reputasi sendiri dengan cara menghancurkan reputasi orang lain. (Mattew Henry Commentary, BibleWorks, 6.0).
Perintah Kesepuluh: “Jangan mengingini.” (20:17)
Titah ini ada hubungan dengan hati manusia yang paling dalam (inner man) bukan sikap luarnya tapi sikap hati. Keinginan ada di dalam hati. Titah ini melawan sifat tamak dalam diri kita. Titah ini menembus akar permasalahan dalam diri manusia. Rasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan menginginkan lebih banyak, bahkan apa yang dipunyai orang lain.
Problem manusia sebagaimana pergumulan Paulus, semakin dilarang untuk tidak menginginkan justru semakin banyak yang diingini (lihat, Roma 7:7). Ada tabiat dosa yang harus diselesaikan dalam diri setiap manusia sehubungan dengan penerapan titah ini. Kristus juga memberi peringatan yang masih ada relevansinya dengan titah ini; “Kata-Nya lagi kepada mereka: „Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.“ (Lukas 12:15).
Semakin jelas, titah ini bertujuan untuk melindungi hati dari iri hati. Sejatinya Allah saja yang memenuhi segala keperluan kita. Secara positif, kita dititahkan supaya hidup berpadanan dengan pemberian Tuhan –hidup sederhana– sebagaimana yang kita dapatkan dari Dia, kita syukuri. Menjaga kemurnian hati dan budi, menjaga orang agar tidak jatuh kedalam ketamakan dan keserakahan.
Penutup
Dasa Titah dari Tuhan tidak berubah secara prinsip dan secara mendasar tetap menjadi pola hidup orang Kristen . Orang Kristen dipanggil untuk memiliki persekutuan yang benar dengan Tuhan-Right Relations With God; persekutuan yang benar dalam beribadah kepada Tuhan – Right Relations in the Worship of God; dan hubungan yang benar dengan masyarakat – Right Relations With Society.
Dasa titah yang dikumandangkan kembali oleh Raja Yesus Kristus dengan mendeklarasikan hukum Kasih, menggambarkan kesempurnaan dari hukum Tuhan itu. Roh Kudus sendiri yang akhirnya menuliskan pada loh hati manusia yang percaya pada Yesus, dan menjadikannya manusia baru. Roh Kudus juga yang memberi daya dan kuasa untuk kita menjadi orang Kristen yang taat terhadap titah-Nya.
Oleh karena dasa titah merupakan standar moral Kristen dasar, maka orang- orang tua Kristus berkewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka, guru-guru di sekolah berkewajiban mengajarkan kepada siswa didik, selanjutnya para pemimpin masyarakat berkewajiban mengajarkan kepada generasi yang baru.
Akhirnya, ketika orang-orang Kristen dengan pertolongan Roh Kudus mentaati dan mengajarkan dasa titah dengan setia, maka pasti akan ada transformasi kehidupan masyarakat yang riil. Akan ada pembaruan budaya, pembaruan masyarakat, transformasi bangsa. Kiranya Tuhan menolong kita.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bullock, C Hassell. Kitab Nabi-nabi Perjanjian Lama. Malang ; Gandum Mas.2002.
Cleddie Keith. Sepuluh Perintah Allah sebagai Pola Doa. Jakarta: Penerbit Imanuel, 2005.
Dyrness, William. Tema-tema Teologi Dalam Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas 1992.
Donald C Stamps, M.A. M.Div. (gen. ed.). Full Life Study bible. An International study Bible for Pentecostal and Charismatic Christians. Grand Rapids, Michigan: Zondervan Coorporation, 1992)
Eichrodt, Walther. Theology of The Old Testament Volume One. London: SCM Press Ltd.1961.
Eichrodt, Walther. Theology of The Old Testament Volume two. London: SCM Press Ltd.1992.
Feinberg, John (ed). Masih Relevankah Perjanjian Lama di Era Perjanjian Baru . Malang : Gandum Mas.1996.
Feinberg, John S. dan Feinberg, Paul D. Ethics for A Brave New World. Wheaton, Illinois: Crossway books. 1992.
Grenn, Denis. Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas. 1992.
Lama. Masalah–masalah Pokok dalam Perdebatan Saat ini. Malang: Gandum Mas. 1992.
Kenneth L . Barker. John R Kohlengerger III (ed.). Expositor’s Bible Commentary. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1994.
Kaiser Jr, Walter C. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2004.
Keil & Delitzsch Commentary on the Old Testament: New Updated Edition, Electronic Database. Copyright (c) 1996 by Hendrickson Publishers, Inc.
Ollenburger, Ben C., Marten,Elmer A. dan hasel, Gerhard F (ed) . The Flowering of Old Testament Theology. Winona lake, Indiana:Eisenbrauns. 1991.
Rogerson, John. Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996.
Roy B Zuck (ed.) A Biblical Theology of the Old Testament. Teologi Alkitabiah Perjanjian Lama. Malang: Penerbit Gandum Mas. 2005
Th. C. Vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Timotius Fu, Journal Veritas 11/2 (Oktober 2010), 231-241). Perhentian Hari Sabat,makna dan aplikasinya bagi orang Kristen:
Zuck, Roy B (ed.). Teologi Alkitabiah
Perjanjian Lama. Malang : Gandum Mas. 2005
Bible Softwer Program Michael S. Bushell, Michael D. Tan, and Glenn L. Weaver (programmer).
.BibleWorks™ Versi 6.0. Copyright © 1992-2005 BibleWorks, LLC. All rights reserved.
Biblesoft. International Standard Bible Encyclopaedia, Electronic Database Copyright (c)1996