Ferry Simanjuntak adalah Mahasiswa Pascasarjana (S2) Magister Theology STT Kharisma Bandung

BAB I

PENDAHULUAN

Pengertian Sejarah

        Sejarah adalah “kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau”.[1] Menurut Herodotus (Bapak Sejarah): “Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seorang tokoh, masyarakat atau suatu peradaban.”[2] Sedangkan menurut sejarawan Baverley Southgate, pengertian sejarah dapat didefinisikan sebagai “studi tentang peristiwa di masa lampau… sejarah merupakan peristiwa faktual di masa lampau, bukan kisah fiktif apalagi rekayasa.”[3] Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lalu, apa yang direkonstruksi ialah apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang atau suatu bangsa.

Pengertian Mitos

       Sejarah adalah hal yang sangat kontras dengan mitos karena mitos adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kayangan) dan dianggap benar – benar terjadi oleh empunya cerita atau penganutnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos adalah: “Cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.”[4] Dan banyak bangsa mempunyai cerita mitosnya sendiri. Contoh cerita mitos adalah kisah “Sangkuriang dan Dayang Sumbi” dalam lingkungan masyarakat Jawa Barat.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa cerita-cerita dalam mitos tidaklah dapat dipastikan apakah itu benar-benar terjadi dalam lintasan sejarah. Penulis secara pribadi meyakini bahwa mitos adalah cerita-cerita yang dikemas sedemikian rupa untuk menyampaikan suatu pesan atau message tertentu namun cerita-cerita tersebut bukanlah suatu peristiwa yang betul-betul terjadi dalam lintasan sejarah atau dalam artian cerita-cerita tersebut tidak betul-betul terjadi sebagai suatu kejadian nyata.

Iman Kristen Berakar Dalam Sejarah

Iman kekristenan bukanlah dibangun di atas tradisi lisan atau pun suatu mitos yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tetapi dibangun di atas fakta sejarah yang riil, atau suatu kejadian yang benar-benar terjadi dan bukan cerita omong kosong belaka. 

Paulus menulis bahwa setelah Yesus bangkit, Ia menampakkan diri kepada para rasul, 500 saksi lain, dan juga kepada Paulus (1 Korintus 15:3-8). Dengan banyaknya “saksi”[5] yang disebutkan, maka dapat dipastikan bahwa peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang riil terjadi dalam lintasan sejarah dan bukan suatu mitos.

Pengertian Keselamatan

Menurut Ensiklopedi Alkitab Masa Kini keselamatan berasal dari bahasa Ibrani yesyua dan Yunani soteria, yang  berarti:“tindakan atau hasil dari pembebasan atau pemeliharaan dari bahaya atau penyakit, mencakup keselamatan, kesehatan, dan kemakmuran.”[6]

Selanjutnya di dalam Ensiklopedi tersebut dijelaskan tentang pergeseran arti ‘keselamatan’dimana dikatakan bahwa:

“keselamatan dalam Alkitab bergerak dari ihwal fisik ke kelepasan moral dan spiritual. Demikianlah bagian-bagian paling depan PL berkembang dari menekankan cara-cara hamba Allah yang secara perseorangan terlepas dari tangan musuh-musuh mereka, ke pembebasan umat-Nya dari belenggu dan bermukimnya di tanah yang makmur; bagian-bagian paling akhir PL memberikan tekanan yang lebih besar pada keadaan-keadaan dan kualitas-kualitas keterberkatan secara moral dan religius, dan memperluasnya sampai melampaui batas-batas kebangsaan. PB dengan jelas menunjukkan keterbudakan manusia kepada dosa, bahaya dan kekuatan dosa, dan kelepasan dari dosa yang hanya dapat diperoleh dalam Kristus. Alkitab memberikan pernyataan-pernyataan yang makin lama makin jelas tentang bagaimana Allah menyediakan dasar keselamatan, menawarkannya, dan bagaimana Dia sendiri pada diri-Nya adalah satu-satunya keselamatan manusia.”[7]

Dalam bukunya “Keselamatan” Carlson mengatakan bahwa:

”Keselamatan adalah tema utama di dalam Alkitab…. Keselamatan adalah usaha ilahi yang berdasarkan kasih Allah bagi orang-orang yang terhilang dalam dosa. Rencana keselamatan perlu karena dua fakta: pertama, sekalian manusia terhilang. Kerusakan moral manusia pada umumnya dan kekerasan hati yang ada dalam tiap pribadi – orang-orang berdosa karena perangainya dan orang-orang berdosa karena pilihan – menyebabkan kita cemas dan putus asa. Kedua, kasih Allah yang tak berubah mendorong Allah untuk bertindak. Ketika dosa merajalela dan manusia di mana-mana telah berpaling dari Allah, ketika hati-Nya yang penuh kasih menjadi sangat pedih karena kejahatan dan ketegaran manusia, Allah datang untuk menyelamatkan manusia.”[8]

Jadi, dapat dikatakan bahwa keselamatan adalah tindakan yang lahir dari inisiatif Allah sendiri dalam rangka membawa manusia yang berdosa kembali ke dalam rencana-Nya dan persekutuan dengan Dia dan pengungkapan keselamatan itu dilakukan Allah secara progresif (berkelanjutan) dan mencapai klimaksnya di dalam diri Tuhan Yesus.

Kerangka Paper

Dari uraian pendahuluan di atas, maka judul paper ini, yaitu: “Sejarah Keselamatan Dalam Perjanjian Lama” dipahami oleh penulis sebagai upaya penjelasan tentang tindakan Allah dalam rangka mengungkapkan rencana keselamatan kepada manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dimana tindakan penyelamatan Allah tersebut terlihat dalam lintasan sejarah sebagai suatu kejadian nyata yang benar-benar terjadi, khususnya dalam pengalaman kehidupan bangsa Israel dalam zaman Perjanjian Lama.

BAB II

SEJARAH KESELAMATAN DALAM PERJANJIAN LAMA

Bab II ini adalah suatu upaya penjelasan tentang pengungkapan sejarah keselamatan dari Allah dalam Perjanjian Lama secara kronologi atau urut-berurutan dari sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, dalam jaman Nuh, peristiwa pemanggilan Abraham, jaman Musa ketika Taurat diturunkan, dalam masa sebelum pembuangan dan masa pembuangan maupun setelahnya.

Keselamatan Dalam Kitab-Kitab Pentateuch

Secara teologi dapat dikatakan bahwa sejarah keselamatan sebenarnya telah dimulai di dalam hati Allah sejak kekekalan masa lampau ketika alam ini belum diciptakan, karena Allah adalah pribadi yang sanggup melihat tentang apa yang akan terjadi di kemudian hari sebelum dunia ini diciptakan

Tetapi untuk kepentingan praktis pembelajaran dalam paper ini, penulis menyebutkan saja bahwa sejarah keselamatan dimulai sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa. Sebab di dalam Bab I penulis telah membatasi pengertian sejarah dalam ruang lingkup waktu dan peristiwa yang terjadi di dunia ini dan bukan dalam alam kekekalan.

Dalam Kisah Kejatuhan Manusia Pertama ke Dalam Dosa

Sejarah keselamatan tidak dapat dipisahkan dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Fakta bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa menunjukkan bahwa manusia membutuhakn keselamtan dari Allah. Dalam hal ini Timothy Joshua berkata: “Fakta dosa terbukti dalam Kejadian 3, dosa mengakibatkan perubahan radikal dalam hubungan manusia dengan Allah….Dosa adalah realitas, menentang Allah dan perintah-Nya. Manusia menjadi musuh Allah….”[9]

Pada saat manusia jatuh ke dalam dosa, Allah bukan saja menghukum mereka, tetapi Allah juga memberi janji keselamatan yang pertama kepada manusia dalam Kejadian 3:15. Janji keselamatan yang pertama itu sering disebut dengan istilah ‘protevangelium’. Senada dengan ini, Yakob Tomatala berpendapat bahwa:

“Setelah episode kejatuhan Adam ke dalam dosa, “protevangelium” diproklamirkan Allah (Kejadian 3:15). Proklamasi protevangelium ini merupakan gambaran tentang sikap Allah yang konsisten terhadap rencana misi shalom-Nya. Protevangelium ini berkaitan erat dengan mandat misi Allah yang dihadapkan pada kenyataan dosa yang telah menguasai dan merusak hakikat kemanusiaan Adam serta segenap umat manusia (yang sama-sama telah berdosa di dalam Adam, Banding: Roma 5:12, 18-19).”[10]

Lebih jauh Tomatala mengatakan:

“Secara “lexical”, protevangelium dijelaskan sebagai berasal dari kata pro (protos yang berarti first), yaitu prefiks yang artinya “sebelum, mendahului atau lebih dahulu”, dan evangelium atau euangelion yang berarti “kabar baik” atau Injil. Istilah protevangelium ini merujuk kepada “kabar baik” dari Allah, yaitu “janji keselamatan” yang paling pertama di dalam Kejadian 3:15 dimana Allah bersabda, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya, keturunannya akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya.” Janji keselamatan ini diberikan, tatkala dosa telah masuk ke dalam dunia (Kejadian 3:1-7); Roma 5:12, 14, 18a, 19a).”[11]

Di kemudian hari, protevangelium yang menunjuk kepada keturunan perempuan yang akan menjadi jalan keselamatan bagi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tersebut kemudian ditafsirkan oleh Paulus sebagai menunjuk langsung kepada Kristus (Galatia 4:4). Penafsiran Paulus tersebut menegaskan bahwa protevangelium menempatkan Tuhan Yesus Kristus sebagai pusat keselamatan manusia dari dosa.

Dalam Kisah Nuh

Pembuatan Bahtera pada zaman Nuh menunjukkan suatu perbuatan yang baik tentang rencana penyelamatan Allah. Namun walaupun ada rentang waktu seratus tahun lebih lamanya untuk bertobat, kesempatan ini tidak dimanfaatkan oleh manusia. Akhirnya sebelum air bah tiba, Allah memerintahkan Nuh dan keluarga, termasuk binatang-binatang agar segera masuk ke dalam bahtera. Lalu air bah turun dan semua yang ada di luar bahtera mengalami kebinasaan. Allah ingat akan Nuh, dan berjanji tidak akan menghukum manusia lagi dengan air bah.[12]

Dalam khotbah-Nya, Tuhan Yesus sendiri memakai peristiwa masa Nuh sebagai gambaran tentang keadaan manusia di akhir zaman (Matius 24:37-42). Di mana sekalipun Allah seperti pada zaman Nuh telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat, tetapi kebanyakan mereka tidak mempergunakan kesempatan tersebut. Petrus menyebutkan bahwa kesabaran Allah yang ditunjukkan kepada manusia berdosa adalah dalam rangka untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat (2 Petrus 3:9).

Berdasarkan peristiwa air bah pada zaman Nuh tersebut, dapat terlihat, bahwa Allah adalah pribadi yang murah hati yang memberikan kesempatan kepada manusia yang berdosa untuk bertobat. Tetapi bagi mereka yang tidak mempergunakan kesempatan tersebut pada akhirnya akan menghadapi penghakiman Allah yang kekal.

Dalam Pemilihan Abraham

Abraham berasal dari garis keturunan Sem yang mempunyai latar belakang keluarga yang menyembah banyak dewa. Dua dewa terkenal yang disembah oleh nenek moyang dan masyarakat di mana Abraham tinggal adalah dewa bulan “Sin” dan dewi “Ningal”. Jadi dapat dipastikan bahwa pilihan Allah pada Abraham dalam rangka mengemban rencana Allah lebih lanjut untuk masa yang akan datang, khususnya membangun bangsa Israel pastilah bersumber pada anugerah, dan inisiatif dari Allah sendiri, karena Abraham dipilih bukan karena ia lebih istimewa dibandingkan dengan orang-orang sezamannya.[13]

Berdasarkan Kejadian 12:3; 22:18 dan 26:4, maka terlihat bahwa janji Allah kepada Abraham ada tiga:(1) keturunannya akan mewarisi tanah perjanjian; (2) mereka akan menjadi bangsa besar; (3) bangsa-bangsa akan mendapat berkat karena keturunannya. Janji itu kemudian diberi tanda melalui sunat (Kejadian 17:9-14).

Kembali Paulus menafsirkan bahwa keturunan Abraham yang olehnya semua bangsa akan mendapat berkat menunjuk langsung kepada Kristus sendiri (Galatia 3:16). Artinya, kembali ditegaskan bahwa Tuhan Yesus sendiri menjadi pusat keselamatan Allah.

Dari uraian-uraian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa sejarah keselamatan dari sejak peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa di Taman Eden sampai jaman para patriakh adalah masih dalam bentuk benih janji yang kelak akan digenapi di dalam Kristus dan rencana keselamatan Allah bukan terbatasi oleh sekelompok orang atau bangsa tertentu saja, melainkan mencakup semua bangsa.

Dalam Periode Musa (Periode Taurat Diturunkan)

Sejarah keselamatan dalam periode ini terungkap dalam berbagai upacara keagamaan/ibadah di seputar Kemah Suci, maupun melalui hari raya-hari raya umat Israel.

Upacara-upacara keagamaan/ibadah bangsa Israel dikelompokkan menjadi dua: (1) upacara-upacara pengudusan, (2) ibadah upacara korban yang meliputi: korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan dan korban penebus salah atau penghapus dosa.

Upacara-upacara pengudusan jelas terlihat dalam berbagai peristiwa, misalnya: diatur bagaimana caranya orang mentahirkan diri jika terkena binatang haram atau bangkai, dan bagaimana mereka dapat mentahirkan diri setelah masa haid, bagaimana mereka mentahirkan diri setelah pulih dari sakit kusta dan sebagainya. Satu peristiwa yang bersangkut paut dengan itu misalnya pada waktu Musa turun dari gunung (Keluaran 19:14), ia menyuruh bangsa itu mencuci pakaian mereka dan menguduskan diri, sehingga mereka siap untuk mendengar suara Allah. Konteks peristiwa itu menunjukkan bahwa Israel mengakui akan kekudusan Allah dan perlunya mereka mempersiapkan diri/mentahirkan diri untuk menghampiri-Nya. Artinya, bagi orang Israel, “tahir” terutama berarti “memenuhi syarat untuk menghampiri Allah”.

Namun pada akhirnya, toh bangsa Israel menyadari ketidakmampuan upacara-upacara itu untuk menghasilkan kekudusan yang dilambangkannya. Hal senada juga diungkapkan oleh Dyrness, ia mengatakan:

“Akan tetapi pada akhirnya, terlihat ketidakmampuan   upacara-upacara itu untuk menghasilkan kekudusan yang dilambangkannya. Sejak awal telah diakui bahwa pentahiran hanya datang dari Allah. Pada zaman Raja Daud, upacara-upacara ini adalah ungkapan kekudusan batiniah yang berasal dari pengaruh Allah atas hati  manusia sendiri.”[14]

Hal ini menjadi dasar yang kuat bagi kita untuk menegaskan bahwa usaha manusia yang bersifat agamawi tidak dapat membuat mereka masuk ke dalam keadaan yang layak di hadapan Allah yang maha kudus. Kelayakan tersebut sepenuhnya datang dari Allah.

Selanjutnya untuk upacara korban Dyrness berpendapat bahwa:

“upacara korban dalam Perjanjian Lama berpusat pada kata kerja bahasa Ibrani kipper yang biasanya diterjemahkan dengan “mendamaikan” atau “menutupi” (Imamat 1:4). Arti dasarnya barangkali “menutupi” atau “menghapuskan”. Atau kata kerja ini menunjuk kepada proses penebusan atau pendamaian dengan membayarkan sejumlah uang atau upeti, yang mencerminkan arti kata benda Ibrani koper (“harga tebusan”). Berdasarkan konteks alkitabiah (terutama Imamat 17:11), arti terakhir ini paling tepat mencerminkan konsep Ibrani.”[15]

Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa korban-korban yang dipersembahkan oleh Israel kepada Allah dalam Perjanjian Lama adalah merupakan pengganti (substitusi) nyawa mereka sendiri. Gagasan ini jelas terlihat dalam peristiwa korban-korban yang dicurahkan darahnya. Dalam hal ini, darah bukan unsur yang mengandung tenaga gaib, tetapi diterima Allah sebagai pengganti nyawa orang yang beribadah itu.

Namun, pada akhirnya terlihat bahwa semua ketentuan peribadatan Perjanjian Lama bersifat sementara. Ia harus selalu diulang-ulang. Penulis kitab Ibrani selanjutnya menyebutkan bahwa tindakan peribadatan ataupun korban-korban yang dipersembahkan secara berulang-ulang di dalam Perjanjian Lama justru menunjukkan bahwa korban tersebut sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa. Itu sebabnya, diperlukan suatu pengorbanan yang sempurna yang hanya satu kali dilakukan dan hal itu menunjuk kepada Kristus sendiri (Ibrani 10:11-12).

Selanjutnya hari raya-hari raya Israel melukiskan tentang tindakan penyelamatan Allah di dalam waktu yang pernah mereka lalui. Paskah misalnya merupakan hari raya yang dilakukan sebagai peringatan terhadap tindakan penyelamatan yang dilakukan Allah terhadap Israel dari perbudakan Mesir. Dengan hari raya-hari raya tersebut, Israel memperingati bahwa Tuhan yang telah melepaskan mereka di masa lampau.[16] Uniknya, 1 Korintus 5:7 menyebutkan secara jelas bahwa domba Paskah itu menunjuk kepada diri Kristus sendiri.

Jadi di sini pun jelas terlihat bahwa baik upacara keagamaan maupun hari raya-hari raya yang diwajibkan kepada Israel pada masa Musa (diturunkannya Taurat) merujuk kepada keselamatan yang akan datang atau diwujudkan kelak di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Keselamatan Pada Masa Sebelum Pembuangan

Pada masa Yosua sampai sesaat sebelum pembuangan dapat dilihat tindakan keselamatan Allah kepada bangsa Israel dalam bentuk penaklukan dan pemberian tanah Kanaan serta kemenangan atas musuh-musuh mereka. Dalam periode ini Allah membangkitkan tokoh-tokoh kepemimpinan yang dipakai sebagai sarana kelepasan, seperti: hakim-hakim, imam, raja, dan nabi.

Setelah jaman Yosus Alkitab menguraikan tentang kehidupan bangsa Israel yang penuh kegagalan, dan berbuat dosa. Israel berulang kali jatuh ke dalam dosa, penyembahan para baal dan asytoret (1 Samuel 12:9-11), sehingga akhirnya mereka mengalami penindasan dari orang-orang asing. Setelah Israel bertobat operasi penyelamatan Allah dimulai entahkah itu dengan membangkitkan hakim-hakim, raja, dan nabi. Namun siklus kejatuhan Israel terulang kembali sampai akhirnya mereka dibuang, kerajaan Utara di buang ke Asyur dan kerajaan Selatan (Yehuda) di buang ke Babel.

Keselamatan Pada Masa Setelah Pembuangan

Bangsa Yahudi tinggal di Babel selama 70 tahun (2 Tawarikh 36:21). Allah ingat akan umat-Nya yang di pengasingan, melalui Koresy raja Persia, yang mengijinkan bangsa Yahudi kembali ke Yerusalem. Tugas mereka adalah membangun kembali Bait Allah (Ezra 2:8). Rakyat berbakti kepada Allah menurut Taurat yang diajar oleh Ezra, kemudian Ezra dan Nehemia mengadakan kebangunan rohani (Nehemia 8:2, 8; 9:1-3; 13).

Sekalipun pada masa ini, yaitu pada masa Ester Israel diselamatkan dari tindakan penyelamatan Allah dari rencana pembinasaan massal, tetapi pada masa ini mulai tumbuh suatu semangat di kalangan Israel akan “pengharapan Mesianis”[17]sebagai akibat berita para nabi pada jaman itu. Pesan para nabi tersebut adalah bersifat:

“membimbing kepada ramalan tentang keselamatan mesianis yang apokaliptik, bila Allah, sesuai janji-Nya, akan datang sendiri dalam keselamatan sebagai Allah yang adil dan Juruselamat (Yes 44:17; Dan 7:13). Ajaran PL tentang keselamatan mencapai puncaknya dalam gambar Hamba yang menderita (lih Yes 53); dalam hal ini, PL menyediakan adegan untuk keselamatan dalam PB.”[18]

BAB III

KESIMPULAN

Dari seluruh penjabaran tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan pengungkapan rencana keselamatan  Allah dalam sejarah Perjanjian Lama secara urut berurutan, yaitu:

Satu,pada masa kejatuhan manusia ke dalam dosa sampai masa para patriakh, pengungkapan keselamatan diberikan dalam bentuk benih janji (keturunan perempuan, keturunan Abraham) yang menunjuk kepada Kristus sendiri dan rencana keselamatan tersebut ditujukan bukan hanya bagi bangsa Israel tetapi bagi semua bangsa secara kesuluruhan.

Dua, pada masa Musa (diturunkannya Taurat), pengungkapan tentang kekudusan Allah yang menuntut harus dihakiminya dosa dan orang berdosa dan bagaimana manusia terlepas dari tuntutan murka Allah tersebut diungkapkan secara simbolis melalui hari-hari raya dan upacara-upacara keagamaan, yang mana juga hal-hal tersebut menunjuk kepada diri Kristus sendiri.

Tiga, pada masa sebelum dan setelah pembuangan, pengungkapan tindakan keselamatan Allah dilakukan melalui sarana hamba-hamba-Nya yang terpilih, yaitu: imam, hakim, raja dan nabi. Dan penindasan yang dialami oleh bangsa Israel akhirnya menimbulkan rasa haus akan hadirnya tokoh Mesianis yang dilukiskan sebagai hamba yang menderita oleh Yesaya, yang juga merujuk kepada Kristus.

Dari seluruh poin kesimpulan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rencana keselamatan Allah yang terungkap dalam seluruh perjalanan sejarah Perjanjian Lama mencapai klimaks penggenapan di dalam diri Tuhan Yesus Kristus.

DAFTAR PUSTAKA

Carlson, G. Raymond. Keselamatan. Malang: Gandum Mas,
1983.

Dyrness, William. Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian
Lama. cet.  kedua.  Malang: Penerbit Gandum Mas,
1992

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. cet.  ketiga.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997.

Halley, Henry H. Pocket Bible Handbook. Chicago: Moody
Press, 1972.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.a,  hlm.  794.

Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru. Gandum
Mas: Malang,

Tomatala, Yakob. Teologi Misi. Jakarta: Institut
Filsafat dan Kepemimpinan Jaffray, 2003.

Makalah

Joshua, Timothy. Makalah Keselamatan Dalam Perjanjian
Lama

Internet

http://sejarah.sekolahvirtual.or.id/index.php/De finisi_Sejarah.

http://sukasejarah.org/index.php?topic=37.0



[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. ketiga,  hlm.  794.

http://sukasejarah.org/index.php?topic=37.0, diakses pada tanggal 28 Juli 2010.

[4]Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.  660.

[5]Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian).

[6]Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997), cet.  ketiga, hlm.  375.

[7]Ibid.

[8]G. Raymond Carlson, Keselamatan, (Malang: Gandum Mas, 1983), hlm.  3.

[9]Timothy Joshua, Makalah Keselamatan Dalam Perjanjian Lama, hlm.  4.

[10]Yakob Tomatala, Teologi Misi, (Jakarta: Institut Filsafat dan Kepemimpinan Jaffray, 2003), hlm. 107.

[11]Ibid.

[12]Bnd.  Kejadian 6-9, Alkitab (Jakarta: LAI, 2006), hlm.  5-9.

[13]Bnd.  Henry H. Halley, Pocket Bible Handbook, (Chicago: Moody Press, 1972), hlm.  93.

[14]William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1992), cet.  kedua, hlm.  133.

[15]Ibid.

[16]Bnd.  Ibid.  hlm.  131.

[17]Dalam bukunyanya Teologi Perjanjian Baru, George Eldon Ladd, menyebutkan bahwa pengharapan Mesianis yang tumbuh di dalam hati bangsa Israel, berkembang sebagai akibat penindasan yang pernah mereka alami dari bangsa-bangsa lain baik sebelum maupun pada masa sesudah pembuangan. Pengharapan Mesianis itu merujuk kepada dipulihkannya tahta Daud yang akan menghancurkan kekuasaan penjajah Roma sehingga mengangkat kembali kerajaan Israel  kepada masa kejayaan seperti yang pernah terjadi pada zaman Daud.

[18]Ibid.